REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah memutuskan untuk tidak menghentikan penerapan Kurikulum 2013 (K-13) secara keseluruhan. Namun, K-13 masih diterapkan di sejumlah sekolah yang dinilai mampu untuk melanjutkannya.
Sementara sekolah yang merasa kesulitan dengan K-13, dapat kembali menerapkan Kurikulum 2006 untuk sementara waktu.
Pengamat pendidikan yang juga direktur eksekutif Institute for Education Reform, Mohammad Abduhzen, mengatakan hal itu menjadikan adanya dualisme pembelajaran.
Ia menilai, dualisme pembelajaran itu tidak bagus. Apalagi, jika proses revisi kurikulum 2013 akan memakan waktu paling cepat hingga 3-5 tahun ke depan. Hal itu karena, revisi dilakukan secara mendasar. Jika implementasi dualisme pembelajaran ini dilakukan cukup lma, maka menurutnya akan ada kesenjangan secara kualitatif.
Karena selama ini menurutnya, K-13 dilaksanakan oleh sekolah unggul yang sudah memiliki fasilitas yang bagus. Sementara Kurikulum 2006, umumnya digunakan oleh mereka yang kategori sekolah belum siap.
"Tidak bagus ada dualisme pembelajaran, kalau sebentar gak apa-apa. Saya anjurkan agar ada semacam jalan tengah, yaitu mengkompilasi unsur yang bagus di Kurikulum 2006 dan Kurikulum 2013. Dan itu dibuat jadi panduan sementara untuk masa transisi ini," kata dosen Universitas Paramadina ini, dalam diskusi di Warung Daun, Cikini, Jakarta, Sabtu (13/12).
Ia mengatakan, Kurikulum 2006 bukan berarti tidak memiliki persoalan. Hal itu misalnya, karena penyusunan silabus diserahkan pada sekolah. Maka, terjadilah komersialisasi buku di sekolah.
Sementara, K-13 memang dinilai menyulitkan. Hal itu karena K-13 merupakan evaluasi model baru. Dalam K-13, murid tidak dikuantifikasi dengan menggunakan angka. Melainkan, memakai destruktif. Hal itu dinilai menyita banyak waktu guru, yaitu untuk mendeskripsikan kognitif murid. Sementara menurutnya, tahap kemampuan guru masih menjadi persoalan.