Sabtu 13 Dec 2014 12:25 WIB

Atribut Natal, HTI: Karyawan Muslim Harus Berani Menolak

Rep: c01/ Red: Damanhuri Zuhri
 Pekerja sebuah restoran cepat saji di Banten, Ahad (7/12), mengenakan atribut Natal berupa tanduk rusa sebagai bagian seragamnya.
Foto: Republika/Yogi Ardhi
Pekerja sebuah restoran cepat saji di Banten, Ahad (7/12), mengenakan atribut Natal berupa tanduk rusa sebagai bagian seragamnya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Jika peraturan perusahaan mengharuskan karyawan Muslim untuk mengenakan atribut natal dalam menyambut Hari Raya Natal, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menilai karyawan Muslim harus berani untuk menolak.

Selain itu, Hzbut Tahrir Indonesia (HTI) juga menghimbau agar pemilik perusahaan memiliki pengertian agar tidak memaksakan.

"Harus ada keberanian dari serikat karyawan untuk menolak, tapi juga harus ada kebijakan atau pengertian dari pemilik untuk tidak memaksakan hal itu," jelas Juru Bicara HTI Ismail Yusanto pada Republika, Sabtu (13/12).

Ismail menilai akan lebih baik jika dialog antara serikat karyawan dan pimpinannya ini didampingi atau dibantu tokoh masyarakat setempat atau Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini bertujuan agar tercipta komunikasi yang baik antara serikat pekerja dan pemimpin atau pemilik usaha.

HTI beranggapan pengenaan atribut Natal pada karyawan Muslim dapat menimbulkan keresahan secara sosial religius di kalangan pegawai atau karyawan itu sendiri.

Karena itu, jika suatu perusahaan masih memiliki aturan yang memaksa pegawai untuk menggunakan simbol keagamaan yang berbeda dari keyakinan pegawainya, maka peraturan itu harus diakhiri.

Ismail Yusanto juga menilai penting untuk dibuat suatu peraturan yang mengatur agar atasan tidak boleh memaksakan sesuatu yang berkenaan dengan agama dan keyakinan pegawainya.

Ia menyayangkan jika masih ada perusahaan yang memaksa pegawainya untuk mengenakan atribut Natal pada karyawan Muslim.

Pasalnya, di beberapa perusahaan ada yang jelas-jelas melarang karyawan Muslimah mengenakan jilbab, sedangkan di sisi lain beberapa perusahaan justru meminta karyawan Muslimnya untuk mengenakan atribut Natal.

Ini membuat yang seharusnya tidak boleh dipakai malah dipakaikan, sedangkan yang seharusnya dipakai malah dilarang. " Ini kan lucu. Kebalik-balik begitu Indonesia ini," ujar Ismail.

Ismail melihat pengenaan atribut Natal pada karyawan Muslim baru terjadi beberapa tahun terakhir. Sebelumnya, tidak ada peraturan seperti itu dan bisnis tetap bisa berjalan.

Selain itu, Ismail melihat sejumlah toko besar tak lagi memaksaan pengenaan atribut keagamaan pada karyawan yang meyakini agama lain dan ia mengapresiasi hal tersebut. "Itu kan bagus. Perkembangan. Dulunya dipaksakan, sekarang nggak lagi,"

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement