REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ratusan pedagang kaki lima (PKL) di sepanjang jalan Moch Toha berjualan ditempat yang bukan semestinya. Mereka berjualan di badan jalan, sehingga mengganggu ketertiban lalu lintas. Sehingga kerap menimbulkan kemacetan disana.
Kepala Satpol PP Kabupaten Bandung, Usman Sayogi, mengatakan pihaknya akan segera menertibkan 556 lapak PKL di Dayeuhkolot. Ratusan lapak tersebut berada di sepanjang Jalan Mochamad Toha, mulai dari jembatan tol hingga Jembatan Citarum.
"Namun, kami tidak langsung menertibkan. Sebelumnya ada peringatan kepada para PKL. Sejauh ini, mereka merespons dengan baik," katanya saat dihubungi, Jumat (12/12).
Dikatakan Usman, keberadaan ratusan lapak PKL tersebut melanggar Peraturan Daerah No 31 Tahun 2000 tentang Kebersihan, Ketertiban, Keindahan, dan Kesehatan Lingkungan. Bangunan yang berdiri di atas trotoar harus ditertibkan karena mengganggu arus lalu lintas dan kenyamanan publik.
Usman juga menyebutkan bahwa sebelumnya, ratusan lapak dan bangunan liar PKL di Rancaekek juga telah ditertibkan. Penertiban serupa juga dilakukan di sejumlah kecamatan lainnya, seperti di Banjaran, Cangkuang, Katapang, Pameungpeuk, dan Bojongsoang.
Dari sekitar 2.000 lapak dan bangunan liar PKL, Usman mengakui sampai saat ini hampir semuanya sudah ditertibkan. Penertiban diprioritaskan di sejumlah jalan protokol, seperti di Jalan Mochamad Toha (Dayeuhkolot), Jalan Banjaran, Jalan Kopo-Soreang, dan Jalan Bandung-Garut (Rancaekek)
Salah seorang pedagang, Ridwan (21) mengaku sudah mendapatkan dua kali peringatan dari Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bandung. Dirinya diminta untuk segera membongkar lapak dagangannya.
"Saya diminta angkat kaki dari lapak ini karena katanya mengganggu lalu lintas dan membuat kumuh. Baru sekarang ada penertiban, sebelumnya tidak ada," katanya di Dayeuhkolot.
Ridwan mengaku sudah berdagang di lapak tersebut selama puluhan tahun, meneruskan usaha ayahnya. Di lapak penjualan VCD miliknya, dia beroperasi dari pagi hingga malam hari. Sehingga, Rencana penertiban oleh Satpol PP membuat Ridwan kebingungan untuk melanjutkan usahanya. Sebab, dia tak punya tempat lain untuk berjualan.
"Di surat peringatan yang saya terima, saya hanya diminta membongkar bangunan. Tidak ada alternatif tempat yang diberikan oleh pemerintah untuk berjualan," jelasnya.
Walaupun, Ridwan mengakui, tanah tempat lapaknya berdiri itu bukan miliknya. Dia pun pasrah jika pemerintah akan menertibkan tempat berjualannya itu.
"Namun, saya harap ada alternatif tempat usaha yang sama ramainya seperti di sini. Sebab, ini satu-satunya usaha yang saya punya," katanya.