REPUBLIKA.CO.ID,YOGYAKARTA--Himpunan Serikat Perempuan Indonesia (HAPSARI) meneliti ada enam tantangan yang harus dihadapi perempuan dalam mewujudkan kemandirian ekonomi.
Melalui Program Representasi (ProRep), HAPSARI melakukan penelitian tentang tantangan ekonomi yang dihadapi perempuan akar rumput.
“Enam tantangan inti yang dihadapi perempuan, antara lain kesulitan akses permodalan, akses perizinan untuk usaha sertifikasi produk dan koperasi, infrastruktur, produksi, pengemasan, dan pemasaran,” jelas Ketua Dewan Pengurus Nasional HAPSARI Lely Zailani, Sabtu (6/12).
Berbekal hasil tersebut, HAPSARI mengurangi kelemahan tadi. Salah satu contohnya, melalui Koperasi HAPSARI di Kulon Progo Yogyakarta. Koperasi ini, sebut Lely, mampu mengolah produk kopi dan teh dari anggotanya menjadi produk lokal yang menghasilkan tambahan ekonomi bagi para anggotanya.
Melalui koperasi, para petani kopi dan teh kini menikmati harga jual panenan yang lebih baik dbandingkan dengan harga jual ke para pengepul.
Sukses itu, disebut Lely, karena ada intervensi program Pemerintah Daerah Kulon Progo melalui Dinas Koperasi yang memberi kemudahan mulai dari proses pendirian koperasi, perizinan (badan hukum), perizinan produk, promosi produk, hingga akses permodalan.
Kesuksesan Koperasi HAPSARI Kulon Progo itu menginspirasi tumbuhnya koperasi-koperasi di berbagai desa lain yang menjadi anggota HAPSARI, seperti di Deli Serdang, Serdang Bedagai, Labuhanbatu, dan Pekalongan.
Koperasi-koperasi ini mulai menangani pengolahan ikan asin di Kabupaten Serdang Bedagai dan keripik koin dari singkong di Deli Serdang. Koperasi-koperasi itu berhasil memperkuat potensi dan sumber pendapatan bagi ekonomi rumah tangga mereka.
Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Gadjah Mada (LPPM UGM) pada tahun 2010-2011 merilis hasil penelitian tentang pengolaan koperasi di masyarakat. Hasilnya membuktikan bahwa koperasi yang dikelola para perempuan lebih maju dibandingkan dengan kelompok laki-laki.
“Tingkat pengembalian pinjaman kelompok perempuan jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok laki-laki. Itulah salah satu bukti bahwa perempuan, termasuk perempuan di perdesaan, bukan obyek pembangunan melainkan subyek pembangunan yang aktif dan produktif,” ungkap tim Pusat Studi Wanita UGM Soeprapto.