Sabtu 06 Dec 2014 12:04 WIB

Angka Pernikahan Dini di Kalsel Masih Tinggi

Rep: Nora Azizah/ Red: Hazliansyah
Pernikahan dini (Ilustrasi).
Foto: IST
Pernikahan dini (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANJAR BARU, BANJARMASIN -- Angka pernikahan usia dini, yakni 15 sampai 19 tahun masih menjadi rapor merah bagi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN). 

Jumlah pasangan usia dini yang menikah masih tergolong tinggi, termasuk di Kalimantan Selatan. Berdasarkan data terakhir yang diterima dari BKKBN Provinsi Kalsel pada 2010 lalu, Kalsel menjadi provinsi dengan jumlah pernikahan dini tertinggi di Indonesia. 

Sementara untuk angka kelahiran pada usia remaja menjadi ke dua tertinggi setelah Kalimantan Barat. 

"Angka ini berusaha kami tekan dengan gencar melakukan sosialisasi pada masyarakat," Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Provinsi Kalimantan Selatan Endang Moerniati, Sabtu (6/12), saat acara road show Mobil Unit Penerangan (MUPEN) lintas Kalimantan di Banjar Baru, Banjarmasin, Kalimantan Selatan. 

Tingginya angka pernikahan dini di Kalsel memang tak bisa dipungkiri masih terpengaruh budaya setempat. Masyarakat banyak yang beranggapan bahwa lebih cepat menikah menjadi lebih baik untuk kehidupan. Hal tersebut berkaitan dengan faktor ekonomi masyarakat desa. 

Ada beberapa kasus pernikahan dini berlangsung bukan karena kehendak pasangan muda. Namun terjadi agar orang tua bisa cepat melepas tanggung terhadap anaknya, terutama mereka yang memiliki anak perempuan. Pernikahan dini juga dipicu remaja desa yang tak memiliki kegiatan. Banyak dari mereka putus sekolah karena tak memiliki biaya untuk melanjutkan pendidikan. Itu sebabnya orang tua menikahkan mereka diusia belia. 

Untuk mengatasi persoalan tersebut perlu adanya edukasi mengenai usia penikahan. Bentuk penyuluhan masih dengan melakukan sosialisasi pada masyarakat. Sosialisasi yang diberikan yakni dalam bentuk edukasi mengenai pendewasaan terhadap usia perkawinan. 

Hal tersebut juga didukung dengan menumbuhkan pusat-pusat informasi dan konsultasi remaja, khususnya di sekolah dan perguruan tinggi. Nantinya diharapkan akan ada konselor dan pendidik yang sebaya dengan para remaja. Konselor dan pendidik nantinya memberikan penyuluhan pada rekan sebaya mereka.

Hal ini agar penyampaian edukasi bisa lebih tepat sasaran. Adanya MUPEN juga sebagai bentuk upaya membantu sosialisasi dengan mendatangi desa-desa.

Dalam penerapannya memang masih menuai kendala, salah satunya dari segi tenaga medis. "Ini memang masalah klasik," jelas Endang. 

Saat ini belum semua desa memiliki pengawas lapangan yang layak. Di Kalsel sendiri, satu pengawas lapangan membawahi empat sampai sembilan desa. Padahal idealnya satu desa memiliki minimal satu sampai dua pengawas, terutama di daerah terpencil. Untuk desa yang masih dekat kota satu pengawas dirasa cukup membawahi satu desa. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement