REPUBLIKA.CO.ID, BANJAR BARU, BANJARMASIN -- Penggunaan alat kontrasepsi jangka panjang masih perlu sosialisasi berkala. Pasalnya, di beberapa provinsi Indonesia penggunaan kontrasepsi jangka pendek masih mendominasi, salah satunya di provinsi Kalimantan Selatan.
"Angka penggunanya cukup tinggi, sudah mencapai 70 persen," kata Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Provinsi Kalimantan Selatan Endang Moerniati, Sabtu (6/12), saat acara road show Mobil Unit Penerangan (MUPEN) lintas Kalimantan di Banjar Baru, Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
Jumlah pengguna kontrasepsi tersebut mencakup seluruh penduduk Kalsel sebagai peserta KB pasangan usia subur. Namun kebanyakan dari mereka menggunakan kontrasepsi jangka pendek, yakni pil dan suntik.
Berdasarkan data terakhir BKKBN Kalsel sampai September tahun ini, lebih dari 47 ribu keluarga menggunakan kontrasepsi jenis suntik, dan sekitar 33 ribu meminum pil. Hanya sekitar delapan persen yang menggunakan kontrasepsi jangka panjang. Angka tersebut tergolong masih sangat minim. Sebanyak 5 ribu keluarga yang menggunakan alat KB berjenis implan.
Penggunaan kontrasepsi jangka panjang lebih disarankan agar program KB bisa berjalan baik. Sebab untuk kontrasepsi jangka pendek riskan terputus. Misalnya, untuk jenis pil biasa diminum setiap hari. Terkadang lupa untuk minum sehingga membuat program menjadi tertunda.
BKKBN memang tak bisa sendiri dalam menggalakan program KB tersebut. Untuk itu BKKBN bekerja sama dengan TNI dan Polri. Bintara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat (Babinkamtibmas) dan Bintara Pembina Desa (Babinsa) menjadi mitra dalam menyuluhi program KB di desa-desa.
Aparat TNI dan Polri memang diperlukan karena keberadaannya yang bisa menjangkau dan memang berada di seluruh Indonesia.
"Sebab mereka yang berada di desa-desa pelosok yang justru memerlukan bentuk penyuluhan tersebut," jelas Endang. Masyarakat pedesaan masih memerlukan edukasi dan binaan secara merata agar program KB bisa terlaksana dengan baik.