REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat menetapkan seorang tersangka "human trafficking" atau perdagangan manusia atas nama Suryono (52) terkait pengiriman dan penempatan dua perempuan Lombok yang tidak sesuai prosedur Malaysia.
Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda NTB melalui Kasubdit IV AKBP Jon Wesly Arianto di depan wartawan, Jumat (5/12), menuturkan, Suryono telah ditetapkan sebagai tersangka karena telah melanggar Undang-Undang Nomor 39/2004 Pasal 102 dan 103 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga kerja Indonesia di Luar Negeri.
"Tersangka saat ini sudah kami tahan. Penetapannya berawal dari tindak lanjut laporan dua perempuan asal Lombok Timur yang mendapatkan perlakuan tidak manusiawi selama berada di Malaysia," katanya.
Kedua perempuan asal Lombok Timur itu adalah HW (20) warga Pringgabaya dan SU (23) asli Sakra. Keduanya datang melapor ke Polda NTB pada 23 Oktober 2014, setelah mendapat arahan dan bantuan dari pihak Atase Kepolisian yang ada di Malaysia.
"Mereka melapor telah diperlakukan dengan cara tidak manusiawi selama di Malaysia. Sesampainya di Malaysia, mereka tidak langsung dipekerjakan melainkan ditempatkan di penampungan sampai sebulan lamanya," ujar Jon Wesly.
Saat di penampungan, keduanya pernah meminta untuk dipulangkan ke Indonesia namun tidak juga diizinkan. Bahkan, kata Jon Wesly, rambut mereka tidak boleh panjang dan dipotong pendek.
Terkait hal itu, keduanya secara tersembunyi mendatangi Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Atase Kepolisian di Malaysia, mereka melaporkan atas perilaku yang diterima selama di penampungan. Berdasarkan hal itu, keduanya dipulangkan dan dirujuk ke Polda NTB.
Setelah menindaklanjuti laporannya, penyidik menemukan nama Suryono sebagai pengirimnya dan langsung dilakukan pemanggilan untuk diperiksa. Selanjutnya, berdasarkan kelengkapan alat bukti dan keterangan para saksi, akhirnya Suryono ditetapkan sebagai tersangka dan ditangkap pada 20 November 2014.
Jon Wesly menerangkan, Suryono ditahan karena diketahui telah mengirim kedua TKI tidak melalui badan yang sah dari pihak imigrasi atau secara ilegal. Selain itu, Suryono tidak menggunakan kelengkapan administrasi dari pihak imigrasi seperti memberikan pelatihan, tes kesehatan, dan kartu kerja di luar negeri untuk calon TKI.