REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dua tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan perangkat kerja berupa Portabel Data Terminal (PDT) di Kantor PT Pos Indonesia (Persero) Tahun 2012-2013, ditahan di Rutan Salemba cabang Kejagung hari ini, Selasa (2/12). Kedua tersangka tersebut, yaitu Pegawai PT Pos Indonesia berinisial Muhajirin dan Senior Vice President Teknologi Informasi PT Pos Indonesia, Budhi Setyawan.
"Iya, dilakukan penahanan terkait kasus korupsi di PT Pos Indonesia," kata Kasubdit Tipikor Kejaksaan Agung (Kejagung) Sarjono Turin kepada wartawan di Kejagung, Selasa (2/12).
Berdasarkan pantauan Republika, ketika keluar dari Gedung Jampidsus sekitar pukul 17.30 WIB, Budhi Setyawan* yang keluar lebih dulu hanya sesekali menjawab pertanyaan para awak media.
"Tidak, tidak," kata Budhi* ketika ditanya apakah ia terlibat atau tidak dalam kasus tersebut.
Berbeda dengan Budhi*, Muhajirin* yang menyusul beberapa saat kemudian sama sekali tidak memberi komentar ketika ditanya. Ia memilih langsung masuk ke dalam mobil untuk kemudian dibawa ke rutan.
Sebelumnya, dalam kasus PDT di Kantor PT Pos Indonesia Tahun 2012-2013, jaksa penyidik telah menetapkan lima tersangka. Selain Muhajirin dan Budhi Setyawan, jaksa juga menetapkan sang Direktur Utama PT Pos Indonesia, Budi Setiawan, Direktur PT Datindo Infonet Prima (PT DIP), Effendy Christina, dan Karyawati PT DIP, Sukianti Hartanto.
Kasus ini berawal dari proyek pengadaan alat PDT pada Mei hingga Agustus 2013. Proyek pengadaan yang bentuk alatnya mirip telepon genggam ini menurut rencana akan dipakai pengantar pos untuk mengirim data ke server pusat.
PT Pos Indonesia kemudian menjalin kontrak dengan PT DIP dengan membeli PDT dari PT DIP senilai Rp 10,5 miliar menggunakan uang dari Kementerian BUMN. Namun, ternyata alat yang sudah terlanjur dibeli sebanyak 1.725 unit tersebut hanya berfungsi 50 unit.
Selain itu, baterai berdaya tahan hingga delapan jam yang dijanjikan ternyata hanya mampu menyala selama tiga jam. Alat bermerek Intermec tersebut juga diketahui tidak memiliki fitur alat pelacak lokasi atau Global Positioning System (GPS).
Proyek itu pun kemudian dinilai tidak sesuai spesifikasi dalam kontrak yang dijanjikan.