REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Kader Golkar, Yoris Raweyai, diduga menjadi aktor dibalik penyerangan kantor DPP Golkar di Jakarta. Hal ini dinilai memunculkan citra buruk bagi perpolitikan di Indonesia.
Pakar politik Universitas Indonesia, Agung Suprio, menjelaskan, seharusnya ditempuh cara-cara dialogis. Namanya politik tentu selalu ada ruang untuk bernegosiasi. “Bukan dengan cara-cara kekerasan ya, karena ini memunculkan citra buruk,” imbuhnya, saat dihubungi, Senin (1/12).
Pihaknya menjelaskan, perbedaan pandangan dan sikap politik adalah keniscayaan. Setiap insan memiliki pendapat yang berbeda-beda. Namun demikian, bukan berarti harus diselesaikan dengan cara-cara yang tidak beradab. Tradisi yang arif dan penuh dengan kebijaksanaan tetap harus ditempuh untuk meningkatkan demokrasi Indonesia.
Akan sangat disayangkan menurutnya, jika hal ini ditempuh dengan cara-cara kekerasan. “Kalau cara seperti itu tentu tidak beradab,” paparnya.
Ketum Golkar, Aburizal Bakrie, dalam akun twitternya,@aburizalbakrie, sudah menegaskan penyambutannya yang positif tentang niatan baik memperbaiki Golkar, namun demikian hal ini harus ditempuh dengan cara-cara yang konstitusional. “Bukan adu kekuatan fisik atau dengan kekerasan,” imbuhnya.
Ical menegaskan Yoris bukanlah fungsionaris DPP, karena itu dia tidak berhak masuk dan mengikuti sidang pleno DPP di hari terjadinya bentrokan fisik di DPP Golkar. Yoris juga mengklaim membawa massa Angkatan Muda Partai Golkar (AMPG). Padahal dia bukan lag ketum AMPG.
Ketua OC Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar, Ahmadi Noor Supit mengaku telah melaporkan Yoris Raweyai ke polisi atas kericuhan di kantor DPP Partai Golkar. Pihaknya menyayangkan karena dalam kejadian itu ada korban terluka seorang perempuan, yang mengalami bocor di bagian kepalanya. Ini terjadi karena massa yang disebut Supit sebagai preman itu jumlahnya ratusan.