REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penyerangan kantor Golkar dinilai sebagai upaya merusak demokrasi di Indonesia. Hal ini dinilai sangat tidak etis, karena tidak sesuai dengan iklim demokrasi di Indonesia.
"Terus terang, ini tidak etis, merusak demokrasi kita," ujar pakar politik UIN Syarif Hidayatullah, Saiful Umam, saat dihubungi, Ahad (30/11). Partai Golkar dinilainya sangat senior, karena sudah aktif dalam Pemilu sejak lama. Kadernya tersebar di seluruh Indonesia dan dalam berbagai profesi.
Senioritas Golkar membuktikan adanya sistem yang sudah lama berjalan. Namun kemudian, sistem ini dirusak oleh segelintir orang dengan menyerang kantor Golkar. Hal ini merupakan tindakan yang dinilainya sangat tidak diharapkan.
Sebelum peristiwa 'berdarah' di Jl Anggrek Neli itu, Partai Golkar selalu menyelesaikan berbagai persoalan dengan demokratis. Selalu ada negosiasi dan diskusi. Kalau tidak setuju maka membuat partai baru seperti yang dilakukan Surya Paloh dengan Nasdem, dan Prabowo dengan Gerindra. "Intinya, demokrasi tidak pernah ada harga mati," imbuhnya.
Sementara itu, Wasekjen Golkar, Tantowi Yahya, menegaskan bentrokan yang terjadi di Kantor DPP itu sangat disesalkan banyak pihak. Pada saat itu, sedang diselenggarakan rapat pleno pengurus harian. Rapat pleno biasanya dihadiri juga oleh kader, namun pada saat itu khusus dihadiri pengurus harian.
Tiba-tiba datang sekelompok massa yang kabarnya dikoordinir Yorris Raweyai. "Yorris sudah tidak lagi menjadi ketua bidang kepemudaan dan olahraga DPP Golkar. Dulunya dia ketua AMPG," imbuhnya.