REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pemerintah Indonesia diminta tegas dalam mengimplementasikan biofuel karena akan mempengaruhi harga minyak sawit.
Pembicara dari Godrej International Ltd., Dorab E. Mistry mengemukakan hal itu dalam ?"10th Palm Oil Conference (IPOC) and 2015 Price Outlook" di Bandung, Jumat dan diikuti 1.276 peserta dari 120 negara.
Dorab mengatakan bahwa Indonesia sekarang kurang serius dalam melaksanakan kebijakan biofuel-nya. "Pemerintah Indonesia sekarang ini hanya meminta kepada Pertamina untuk meningkatkan penggunaan biofuel tetapi saya kira pemerintah harus lebih keras dengan mengambil kebijakan yang lebih tegas guna mendorong pemakaian biofuel dalam negeri," katanya.
Ketegasan tersebut, katanya, menjadi salah satu faktor dalam penyerapan pasokan minyak kelapa sawit, apalagi pasar minyak sawit masih terkendali pada persyaratan yang berkenaan dengan keberlanjutan di negara Eropa dan Amerika.
Ia mengatakan kalau biofuel meningkat maka permintaan terhadap minyak sawit akan meningkat dan mendorong harga naik.
Dorab meramalkan bahwa harga minyak sawit tahun depan akan berkisar antara 2.300 hingga 2.500 ringgit per ton. "Ini tergantung sejumlah kondisi termasuk pelaksanaan kebijakan biofuel di negara-negara pengekspor dan importir minyak sawit," katanya.
Kondisi-kondisi yang dimaksud Dorab adalah menyangkut kondisi di Brazil dan Argentina, sebagai produsen minyak kedelai terbesar, permintaan minyak sawit di China dan India, harga minyak mentah yang memiliki kedekatan dengan minyak sawit dan pelaksanaan biofuel.