Kamis 27 Nov 2014 20:09 WIB

Larangan Menteri Temui DPR Kontraproduktif

  Sejumlah anggota DPR menunjukkan tandatangan dukungan hak interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM di Ruang Fraksi Partai Golkar, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11).(Republika/Agung Supriyanto)
Sejumlah anggota DPR menunjukkan tandatangan dukungan hak interpelasi terkait kebijakan kenaikan harga BBM di Ruang Fraksi Partai Golkar, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (24/11).(Republika/Agung Supriyanto)

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Analis politik Universitas Diponegoro Semarang Budi Setiyono menilai larangan jajaran kabinet untuk mengikuti rapat dengan DPR justru kontraproduktif.

"Larangan yang ditandai dengan surat edaran (SE) itu menghambat sistem ketatanegaraan yang mengharuskan adanya 'check and balance' dari legislatif kepada eksekutif," katanya di Semarang, Kamis (27/11).

Budi yang juga penasihat politik tokoh oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi itu menjelaskan langkah pengawasan dan konsultasi antara kedua lembaga tinggi negara tersebut harus terus berjalan.

Terlepas dari permasalahan yang masih terjadi di DPR, kata dia, tidak semestinya pemerintah menolak langkah DPR dalam menjalankan mekanisme mengontrol pemerintahan yang menjadi kewenangan DPR.

"Kalaupun masih ada permasalahan di DPR, biarlah itu menjadi masalah internal DPR. Namun, DPR sebagai institusi tetap menjalankan aturan yang secara 'de facto' dan 'de jure' sudah disahkan," katanya.

Sebagaimana amanat yang diberikan undang-undang terhadap lembaga legislatif, yakni DPR, kata pengajar FISIP Undip tersebut, semestinya mekanisme kontrol dan pengawasan dari DPR terus berjalan.

Ia menjelaskan ketegangan politik di tubuh DPR dengan adanya dua kubu, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) merupakan suatu keniscayaan yang biasa dalam politik.

"Di mana-mana, partai politik penguasa dengan oposisi selalu 'bermusuhan'. Namun, dalam konteks politik, 'permusuhan' merupakan persaingan ide dan gagasan, bukan untuk saling menjatuhkan," katanya.

Oleh karena itu, ia mengatakan persaingan politik yang terjadi antara KMP dan KIH jangan dianggap sebagai keluarbiasaan atau keanehan, namun semuanya untuk mencari ide dan gagasan yang lebih baik.

"Makanya, semestinya Presiden Joko Widodo tidak mengeluarkan larangan semacam itu. Sebab, dampaknya justru semakin menambah komplikasi dalam penyelenggaraan pemerintahannya," kata Budi.

sumber : antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement