REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan para guru yang berstatus bukan pegawai negeri sipil (non-PNS), dinilai masih jauh dari harapan. Padahal, mereka memiliki tugas yang sama beratnya dengan para guru-guru PNS, yakni sama-sama untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Sekretaris Jenderal Komisi Nasional (Komnas) Pendidikan, Andreas Tambah menuturkan, saat ini database yang dimiliki pemerintah terkait status ekonomi para guru masih lemah validitasnya. Akibatnya, banyak guru yang kehidupannya masih di bawah sejahtera tidak terdata.
"Walaupun setiap saat kita meng-update data, tapi pada kenyataannya masih banyak guru miskin yang belum terdata. Sebagian besar di antara mereka adalah guru honorer dan swasta," ujar Andreas saat dihubungi Republika, Selasa(25/11).
Oleh karenanya, kata dia, pemerintah harus mempunyai database yang lengkap mengenai status kepegawaian guru yang mengajar di sekolah-sekolah. Di samping itu, setiap guru juga mesti memiliki ID untuk memudahkan proses pendataan.
"Saya menemukan banyak sekali guru di Jakarta yang penghasilannya di bawah UMP (upah minimum provinsi). Itu mereka yang mengajar di ibu kota negara, apalagi di guru luar Jakarta, tentu lebih banyak lagi yang masih miskin," ucapnya.
Andreas menambahkan, pemerintah selama ini cenderung hanya memperhatikan kesejahteraan guru-guru PNS. Sementara, guru-guru honorer dan swasta justru masih banyak yang hidup dalam suasana kemiskinan.
Berdasarkan pantuan Komnas Pendidikan, ungkap dia, sekolah-sekolah swasta yang memiliki funding (pendanaan) menengah ke atas, rata-rata mampu menggaji guru-gurunya Rp 5 juta ke atas. Namun, sekolah-sekolah swasta dengan funding menengah ke bawah rata-rata hanya mampu menggaji guru-guru mereka Rp 2 juta ke bawah.
"Guru-guru yang masih hidup di bawah kesejahteraan, baik honorer maupun swasta, harusnya mendapatkan perhatian serius dari pemerintah. Karena mereka sama-sama bertugas mencerdaskan bangsa," imbuhnya.