REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah dituntut untuk lebih memperhatikan berbagai potensi energi alternatif seperti gas yang belum dimanfaatkan secara maksimal dan masih melimpah ketimbang terus menerus bergantung pada impor minyak.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai, dari sekian kali kenaikan harga BBM dan LPG bersubsidi, seringkali pemerintah luput untuk membenahi penyediaan energi alternatif. Pemerintah pada Selasa menaikkan harga BBM subsidi sebesar Rp 2000 per liter sehingga menghemat subsidi hingga Rp 120 trilyun.
"Misal dari Rp 120 triliun penghematan subsidi BBM itu kemudian dialihkan ke infrastruktur termasuk pembangunan SPBG di kota-kota besar atau membangun fasilitas energi baru dan terbarukan, sehingga konversi BBM ke BBG dan energi alternatif lainnya bisa lebih cepat," kata Tulus, saat dihubungi, Rabu (19/11).
Ia menyarankan, dari nilai penghematan itu, bisa saja misal dialihkan Rp 30 triliun untuk konversi BBM ke BBG karena sampai saat ini hanya ada 19 SPBG. Itu pun belum maksimal karena kendaraan bermotor belum banyak memakai BBG termasuk angkutan umum.
Ia curiga, impor minyak yang terus dipertahankan mengindikasikan adanya kepentingan tertentu yang berkolaborasi dengan para mafia minyak, sehingga program konversi ke gas jadi lambat. "Importir minyak itu juga salah satu penghambat eksternal konversi, karena ada mafia mafia itu tadi. Revitalisasi kilang sangat seret," ungkapnya.
Ketua Komite Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri mengatakan, konversi ke BBG tak maksimal karena perencanaan yang dilakukan pemerintah tak sungguh-sungguh. "Ini terutama masalah lambatnya pengembangan infrastruktur, diduga ada konflik kepentingan dari pebisnis minyak yang tidak mau berkurang marginnya" ujar dia.