REPUBLIKA.CO.ID, AKARTA -- Tes keperawanan disebut masih menjadi salah satu syarat kelulusan dalam proses seleksi polisi wanita (polwan) di Indonesia.
Human Right Watch (HNR) mengindikasikan, praktik tes keperawanan masih dilakukan pada proses seleksi polwan. Tes tersebut dinilai melecehkan wanita dan meninggalkan trauma bagi para calon penegak hukum.
Dalam laman resminya, Selasa (18/1), HNR melansir, dalam hukum internasional, tes keperawanan mendapat banyak kecaman. Tes itu dianggap sebagai pelanggaran hak asasi manusia.
Alasannya, karena dinilai kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Kecaman itu berdasarkan pasal 7 konvensi internasional mengenai hak sipil dan politik (ICCPR) dan pasal 16 dari konvensi menentang penyiksaan. Kedua konvensi itu telah diratifikasi Indonesia.
Komite HAM PBB menyatakan, tujuan dari pasal 7 adalah untuk melindungi martabat dan integritas fisik dan mental individu. Sementara tes keperawanan berlawanan karena sifatnya memaksa dan melanggar integritas fisik dan mental pelamarnya.
Konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan perjanjian HAM juga melarang diskriminasi terhadap perempuan. Hal itu didasari atas kenyataan bahwa pria tidak memiliki tes keperawanan. Sehingga ada indikasi diskriminasi terhadap perempuan.
Tes keperawanan bukan hal baru di Indonesia. Sebelumnya tes keperawanan juga beredar di dunia pendidikan saat seorang siswi harus menjalani tes keperawanan untuk lolos seleksi.