Sabtu 15 Nov 2014 16:29 WIB

Industri Garam Kupang Terkendala Masalah Lahan

Rep: C85/ Red: Winda Destiana Putri
Petani garam. Ilustrasi
Foto: Republika/Aditya Pradana Putra
Petani garam. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Nusa Tenggara Timur dinilai memiliki potensi yang sangat besar untuk pengembangan industri garam nasional. Terlebih di Pulau Timor yang memiliki curah hujan yang rendah dengan tingkat evaporasi yang cukup tinggi, sangat potensial untuk industri garam.

Dalam kunjungannya ke Kupang, Menteri Perindustrian Saleh Husin mengungkapkan, kendala terbesar yang dialami oleh upaya pengembangan industri garam di Kupang adalah pembebasan lahan yang terhambat.

"Selama ini mentok di pembebasan lahan. Nanti akan kami koordinasikan dengan Kementerian Agraria," jelas Saleh, Sabtu (15/11).

Dalam kunjungannya kali ini, Saleh Husin juga menyepakati sebuah nota kesepahaman dengan investor yang akan mengembangkan industri garam di Kupang. PT. Cheetham Salt ditunjuk untuk membangun industri garam di Wagekeo dengan nilai investasi sebesar 25 juta dolar AS.

"Lahan yang dibutuhkan setidaknya 1000 hektar. Dan tenaga kerja yang diserap setidaknya 600 orang, dengan 150 orang di antaranya adalah petani garam," jelas Presiden Direktur Cheetham Salt Arthur Tanudjaja.

Sebelumnya, sejak 2011 industri garam di Nagegeo terhambat lantaran pembebasan lahan yang sulit. Kabupaten Nagegeo, NTT dianggap layak untuk industri garam karena memiliki curah hujan rendah dan tingkat evaporasi yang tinggi.

Dalam industri sendiri,  justru yang dibutuhkan adalah iklim yang kering, berlawanan dengan pertanian. "Latar belakang MoU ini tentu dari program swasembada kebutuhan garam nasional kita sebesar 3,5 juta ton," jelas Arthur. Saat ini, lanjut Arthur, produksi garam nasional sebesar 1,5 juta ton, dengan nilai impor sebesar 1,6 juta ton untuk garam industri.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement