REPUBLIKA.CO.ID, BANDAR LAMPUNG -- Kran impor yang berlebihan, membuat gula rafinasi (refined sugar) membanjiri pasar di wilayah Lampung. Dampaknya, harga gula di tingkat produsen gula di provinsi ini menjadi anjlok selama tahun 2014, sedangkan harga gula di pasaran masih tetap tinggi.
Gula rafinasi atau gula kristal putih ataupun gula mentah, yang tidak layak dikonsumsi langsung manusia, dan diperuntukan bahan baku pembuatan minuman dan makanan instan, menjadi pilihan industri makanan dan minuman yang ada di provinsi ini.
Manajer Pelayanan Bisnis dan Keuangan PT Gunung Madu Plantation (GMP) Lampung, Gunamarwan, mengakui selama tahun 2014, pabrik gulanya mengalami anjlok harga, meski produksi tahun ini meningkat. Kondisi tidak normalnya harga gula, sudah terjadi sejak tahun lalu, namun tahun 2014 terparah.
"Produksi gula meningkat tapi harga tetap turun atau anjlok. Gara-gara banyaknya gula rafinasi di pasaran. Tahun ini terparah," kata Gunamarwan, seusai ekspos biokonversi Black Soldiers Fly di PT GMP Kabupaten Lampung Tengah, Provinsi Lampung, Jumat (14/11).
Menurut dia, PT GMP pada tahun 2014 mengalami kenaikan produksi dari tahun 2013 yakni dari 181 ribu ton menjadi 195 ribu ton. Kenaikan ini belum berpengaruh dengan kondisi perusahaan karena harga gula masih tetap anjlok, dengan beredarnya gula rafinasi.
Kebijakan impor gula rafinasi ini sudah dibuka sejak tahun 2012. Tahun 2014, kuota kran impor kembali dibuka selebar-lebarnya hingga melebihi kebutuhan nasional. "Sekarang impor gula rafinasi sebanyak lima juta ton, padahal kebutuhannya hanya 2,9 juta ton saja," ujarnya.
Gunamarwan menyatakan harga gula di tingkat petani dan produsen gula berkisar Rp 8.300 hingga Rp 8.600 per kg, biasanya harga normal bagi produsen bisa mencapai Rp 10.100 per kg. "Jelas ini berdampak pada produsen gula di Lampung," jelasnya.