REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly tidak akan mencabut surat keputusan (SK) pengesahan kepengurusan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) versi Mukatamar Surabaya, sebelum keluarnya putusan final dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
"Dalam putusan sela dari PTUN kan cuma disebutkan bahwa memerintahkan Menteri Hukum dan HAM untuk menunda pelaksanaan SK, bukan mencabutnya. Saat ini pun kami sedang mengkaji penundaannya seperti apa?" ujar Laoly saat ditemui wartawan di kantornya, Jumat (13/11).
Ia menuturkan, dengan ditekennya SK pengesahan kepengurusan PPP versi Muktamar Surabaya, maka SK lama yang menempatkan Suryadharma Ali (SDA) sebagai ketua umum dan Romahurmuzy sebagai sekretaris jenderal, otomatis sudah tidak berlaku lagi. Jika SK yang baru itu dicabut, kata Laoly, konsekuensinya adalah kekosongan payung hukum bagi kepengurusan PPP.
Menurut Laoly, pembatalan SK Muktamar Surabaya versi kubu Romy tidak bisa serta-merta mengembalikan kekuatan hukum SK Muktamar VII Bandung 2011. Ini dikarenakan hukum tidak berlaku surut. Di lain pihak, lanjut Laoly, kepengurusan PPP hasil Muktamar Jakarta versi SDA yang menempatkan Djan Faridz sebagai ketua umum, beberapa waktu lalu, tidak memiliki legal formal.
"Laporan hasil Muktamar di Jakarta (versi SDA) itu sendiri belum sampai ke kami. Oleh karena itu, kami berprinsip, jalani saja perkara (di PTUN) dulu. Tunggu putusan finalnya keluar," kata Laoly.