Rabu 12 Nov 2014 17:04 WIB

Antrean BBM di Sampit Tiba-Tiba Normal

Antrean BBM di SPBU (ilustrasi)
Foto: Republika/Adhi Wicaksono
Antrean BBM di SPBU (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, SAMPIT -- Wacana kenaikan harga bahan bakar minyak di Sampit Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah justru menunjukan pemandangan lain dibanding hari-hari sebelumnya karena antrean panjang di SPBU tidak lagi terlihat.

"Lihat saja hari ini tidak ada antrean panjang baik mobil maupun sepeda motor. Mungkin karena belum ada kepastian kapan harga BBM dinaikkan dan masyarakat santai saja menanggapinya," kata Asan, salah seorang petugas SPBU, Rabu (23/11).

Pantauan di sejumlah SPBU di Sampit, antrean tampak normal dan lancar. Antrean kendaraan roda dua yang beberapa waktu lalu sempat panjang karena stok sering habis, kini juga terlihat normal.

Kondisi ini memang sedikit berbeda dibanding saat beberapa kali menjelang pengumuman kenaikan harga BBM sebelumnya. Biasanya antrean panjang di SPBU sudah terjadi ketika wacana itu muncul meski belum ada kepastian kapan kenaikan harga itu diberlakukan.

Rencana penaikan harga BBM oleh pemerintah yang pemberlakuannya tinggal menunggu waktu, ditanggapi beragam oleh masyarakat.

Ada yang tidak setuju, namun ada pula yang menanggapinya biasa.

?Pemerintah jangan cuma memikirkan beban masyarakat karena harga BBM naik, tetapi juga dampak ikutannya. Sudah menjadi hukum pasar, kalau BBM naik maka harga kebutuhan pokok juga semakin naik. Ini yang justru akan lebih membebani masyarakat, sementara penghasilan ya begitu-begitu saja,? keluh Abdurahman, warga lainnya.

Dia meminta Presiden Joko Widodo dan jajarannya mempertimbangkan kembali rencana menaikkan harga BBM. Jika pun terpaksa dilakukan, dia berharap pemerintah memberi solusi lain agar kebijakan ini tidak sampai menambah berat beban masyarakat di tengah kondisi ekonomi yang masih sulit.

Pendapat lain disampaikan Wahyu. Warga Jalan Tjilik Riwut ini menanggapi santai rencana kenaikan harga BBM dan justru menyampaikan dukungannya karena merasa yakin langkah itu cocok untuk kondisi di Kotim.

"Selama ini kita sering kesulitan mendapatkan BBM dengan harga normal di SPBU, akhirnya beli di pengecer juga dengan harga antara Rp 8000 hingga Rp 9000, bahkan sampai belasan ribu jika sampai di perdesaan. Jadi subsidinya dicabut dan harga jadi Rp 9000 per liter, toh sama saja kan? Yang penting barangnya harus selalu ada," ucapnya.

Pria yang mengaku sebagai pedagang kecil ini menilai, selama ini subsidi BBM salah sasaran karena justru banyak disedot oleh orang kaya yang menggunakan mobil. Masyarakat kecil yang menggunakan sepeda motor justru sering kesulitan mendapatkan BBM padahal sekadar membeli beberapa liter di SPBU.

Parahnya, penyelewengan BBM bersubsidi di daerah ini indikasinya sangat kuat. Itu setidaknya terlihat dari razia yang dilakukan aparat yang selalu saja berhasil menjaring kendaraan yang digunakan untuk membeli BBM di SPBU dengan jumlah tidak wajar.

"Saya sependapat dengan rencana pemerintah yaitu mencabut subsisi BBM karena selama ini tidak tepat sasaran. Jadi sekarang subsidinya lebih baik dialihkan dalam bentuk lain yang benar-benar dibutuhkan masyarakat kecil," katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement