Rabu 12 Nov 2014 03:04 WIB

Rokok Rusak Bonus Demografi Indonesia

Merek rokok resmi (ilustrasi)
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Merek rokok resmi (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti dari Lembaga Demografi Universitas Indonesia (UI) Abdillah Ahsan mengatakan, berbagai potensi pembangunan yang dipicu bonus demografi di Indonesia menjadi rusak karena konsumsi rokok yang tidak dikendalikan di dalam negeri.

"Bonus demografi tidak mudah diperoleh. Masyarakat yang jumlahnya besar akan sangat bermanfaat bagi pembangunan jika kualitas hidupnya tinggi tapi rokok menurunkan kualitas itu," kata Abdillah di Kantor IDI, Menteng, Jakarta, Selasa.

Menurut dia, bonus demografi akan menjadi kekuatan suatu negara jika penduduknya berpendidikan dan memiliki kesehatan berkualitas.

"Semakin baik dua unsur itu maka semakin baik pula suatu negara, tapi rokok kembali merusaknya. Jika dikaitkan dengan bonus demografi maka bonus itu seharusnya menjadi kekuatan," kata dia.

Di Indonesia justru yang terjadi sebaliknya. Kualitas kesehatan dan pendidikan terancam oleh banyaknya perokok. Aktivitas merokok memicu penyakit dan kurangnya pendidikan.

"Anak SD dan SMP kini sudah merokok, maka pada 2030 nanti saat mereka masuk pasar kerja mereka tidak sehat lagi. Sementara bagi masyarakat miskin justru biasanya sang bapak lebih memilih belanja rokok daripada untuk biaya pendidikan dan membeli makanan bergizi," katanya.

Bonus demografi, kata Abdillah, justru menjadi semacam bumerang yang menghambat pembangunan bangsa.

Karena itu, Indonesia harus melindungi bonus demografi itu dengan melakukan pembatasan peredaran rokok dengan pajak, cukai tinggi, pembatasan peredaran rokok dan ratifikasi kerangka perjanjian kontrol tembakau internasional (FCTC).

Dengan begitu, tidak akan ada gangguan produktivitas pada usia kerja. Sebab, kontribusi maksimal penduduk bisa dilakukan pekerja tanpa rokok.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement