Senin 10 Nov 2014 09:27 WIB

Para Pengamat Gugat Perppu Pilkada Ke MK

Rep: Ira Sasmita/ Red: Indah Wulandari
 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kedua kiri) didampingi Wapres Boediono (kanan) memimpin rapat terbatas kabinet yang membahas masalah Perppu Pilkada dan Perppu Pemda di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (2/10) malam.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (kedua kiri) didampingi Wapres Boediono (kanan) memimpin rapat terbatas kabinet yang membahas masalah Perppu Pilkada dan Perppu Pemda di Kantor Presiden, Jakarta, Kamis (2/10) malam.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) nomor 1 tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Pemohon yang terdiri atas pengamat pemilu dan pengamat hukum tata negara menilai perppu tersebut tidak memenuhi unsur terbentuknya perppu serta mengabaikan putusan MK soal calon perseorangan.

"Putusan MK soal calon perseorangan kami nilai telah diabaikan dalam perumusan RUU Pilkada dan Perppu 1/2014. Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada seolah mengembalikan hak calon perseorangan dan Pilkada langsung, tetapi Perppu ini tidak bisa serta merta mengembalikan putusan MK yang telah hilang," kata pengamat pemili Ramdansyah, Senin (10/11).

Mantan Ketua Bawaslu DKI Jakarta yang mewakili pemohon ini mengatakan, uji materi Perppu 1/2014 dilakukan dalam rangka penegakan supremasi hukum. 

Menurutnya putusan hukum merupakan produk tertinggi dan tidak bisa diabaikan begitu saja oleh kebijakan eksekutif atau legislatif sekalipun. 

Ramdansyah mengungkapkan, putusan mahkamah yang bersifat final dan mengikat sesuai dengan Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 tidak bisa serta merta dihilangkan. Dalam proses pembuatan naskah akademik RUU Pilkada, UU No. 22 tahun 2014 tentang Pilkada dan Perppu Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada.

Putusan MK No. 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007, lanjut dia, merupakan hasil uji materi terhadap UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintah Daerah. Putusan tersebut melegalkan keiukutsertaan calon perseorangan dalam pilkada.

Pemohon menilai putusan MK yang bersifat final dan mengikat tidak bisa diubah ke dalam proses legal policy oleh pemerintah melalui RUU Pilkada yang menghilangkan calon perseorangan. 

Selain itu, pemohon juga meminta penafsiran mahkamah tentang prosedur pembentukan Perppu. Lazimnya, kata Ramdansyah, harus ada unsur kegentingan yang memaksa seperti yang telah dimaknai dalam Putusan MK Nomor 138/PUUVIII/2009. 

"Kalau ditolak DPR, seluruh penyelenggaraan pemilihan kepala daerah langsung berdasar Perppu ini harus dihentikan," ujar Ramdansyah.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement