REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR akan meminta penjelasan dari pemerintah terkait Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KPI) dan Kartu Indonesia Sejahtera (KSS) yang diluncurkan oleh Presiden Joko Widodo, beberapa waktu lalu.
Wakil Ketua DPR, Agus Hermanto mengatakan selain belum mempunyai payung hukum yang jelas, DPR juga ingin mengetahui dari mana anggaran yang digunakan oleh Jokowi dalam program 'kartu sakti' tersebut.
"Yang dipermasalahkan itu anggarannya," katanya.
Politikus Partai Demokrat ini mengatakan program 'tiga kartu' sakti Jokowi tidak berbeda dengan program yang pernah dibuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Program KIP misalnya, sama dengan program beasiswa siswa miskin (BSM). Bedanya bantuan untuk KIP diberikan lewat kantor pos sedangkan BSM melalui ATM.
Berikutnya program bantuan pada KIS, ia mengatakan program tersebut juga tidak berbeda dengan BPJS Kesehatan yang terdapat di dalam undang-undang. Akhirnya, ketiadaan payung hukum membuat rencana Jokowi sulit direalisasikan.
"Meski sama program dengan yang lalu, tapi susah dilaksanakan karena namanya telah berbeda," ujarnya.
Bukan cuma ingin bertanya soal program 'kartu sakti', DPR juga akan bertanya soal anggaran di kementerian yang mengalami pengubahan nomenklatur.
Pemerintah tidak bisa seenaknya menggabungkan anggaran di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan meskipun kedua kementerian tersebut telah disatukan.
"Banyak yang akan dimintai klarifikasi," katanya.
Jokowi tidak harus menjelaskan langsung kepada DPR soal program kartu sakti. Agus memastikan pihak belum akan menggunakan hak angket. DPR hanya ingin menjalankan hak bertanya kepada pemerintah. Dia berharap upaya DPR diterjemahkan sebagai niat membantu pemerintah.
"Biar cepat kerja, kerja. Bagaimana mau kerja orang gak ada anggrannya," ujar Agus.
Pemerintah juga tidak bisa sekonyong-konyong menggunakan dana CSR BUMN untuk program kartu sakti. Sebab, kata Agus, dana CSR berkaitan dengan tanggungjawab sosial perusahaan terhadap masyarakat di lingkup operasionalnya. Namun Agus tidak memastikan kapan DPR akan memanggil pemerintah.