REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – DPR mendesak KPK membuka para menteri di kabinet Joko Widodo (Jokowi) yang terkena tanda merah dan kuning. Sebab, publik memiliki hak untuk tahu.
"KPK bisa membuka ke publik terkait Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik," kata anggota Komisi III Fraksi Hanura Syarifuddin Sudding dalam diskusi "Noktah Merah Kabinet Kerja" di Kompleks Parlemen Senayan, Selasa (4/11).
Jokowi tidak mungkin bisa membersihkan korupsi dengan orang-orang yang bermasalah. Ibaratnya, kata Sudding, tidak mungkin membersihkan lantai kotor dengan sapu yang kotor. "Tidak elegan kalau orang yang sudah diberi tanda merah masih ada di kabinet Jokowi-JK," ujar Sudding.
Anggota Komisi III DPR Fraksi Golkar Bambang Soesatyo mengatakan, persoalan menteri bertanda merah datang dari KPK sendiri. Menurutnya, pimpinan KPK sudah menyatakan ada menteri yang bertanda merah di kabinet Jokowi. "Yang kita salahkan ketika KPK menyatakan orang bermasalah tetap dimasukkan ke kabinet," ujar Bambang.
Jika benar ada menteri bertanda merah, maka KPK sudah diperalat oleh Jokowi. Itu artinya, kata Bambang, Jokowi hanya menggunakan KPK untuk menyelamatkan orang yang bermasalah hukum ke kabinetnya. "Kalau benar ada 34 menteri yang bermasalah, maka KPK sudah dijadikan tempat bersih-bersih oleh Jokowi," katanya.
Pengamat dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) Uchok Sky Khadafi mengkritik langkah Jokowi melibatkan KPK dan PPATK dalam seleksi menteri. "Karena itu bukan tugas KPK dan PPATK. Ini tugas politis," ujar Uchok.
Uchok menilai Jokowi hanya memanfaatkan KPK dan PPATK untuk menyingkirkan calon-calon menteri yang tidak dikehendakinya. Uchok mengatakan, tidak ada jaminan menteri Jokowi bersih meski tak mendapat tanda merah dan kuning dan KPK.
Sebab, saat ini motivasi orang menjadi menteri hanya untuk materi. "KPK didorong independen. Kalau seperti ini kerja KPK bisa berabe," kata Uchok.