Selasa 04 Nov 2014 14:21 WIB

Disnakertrans Khawatir Kenaikan BBM Tunda UMK

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Winda Destiana Putri
 Sejumlah buruh membentangkan spanduk ketika berunjuk rasa menuntut revisi dan penyesuaian upah minimum kabupaten/kota (UMK).
Foto: Antara/R Rekotomo
Sejumlah buruh membentangkan spanduk ketika berunjuk rasa menuntut revisi dan penyesuaian upah minimum kabupaten/kota (UMK).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Hampir semua kabupaten/kota di Jabar, sudah memiliki nilai ancang-ancang kenaikan UMK (upah minimum kota).

Namun, adanya rencana pemerintah menaikkan harga BBM membuat Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar khawatir bisa menyebabkan adanya koreksi nilai UMK. Bahkan, bisa sampai menunda kenaikan UMK.

"Kami khwatir, bbm naik pasti ada koreksi nilai UMK bahkan ada penundaan. Saya ingin beritahu pusat, kalau ada skenario seperti gini gimana," ujar Kepala Disnakertrans Jabar, Hening Widiatmoko kepada wartawan, Selasa (4/10).

Menurut Hening, penetapan UMK ini akan ikut mundur kalau November ada kenaikan BBM. Karena, nilai survei pasar akan terkoreksi semua tak seperti keadaan normal. Berapa persen kenaikannya, tergantung berapa persen kenaikan BBM. Kondisi ini, tergantung faktor ekonomi.

"Padahal kan saat ini kabupaten kota sudah mulai menetapkan besaran UMK dan penetapan di provinsi rencananya dilakukan pada 21 November mendatang," katanya.

Hening menilai, kalau tak ada peraturan untuk mengoreksi akan menimbulkan bahaya besar. Karena, UMK yang ditetapkan berdasarkan survei lama sebelum ada dampak kenaikan BBM. Padahal, kenaikan BBM ini pasti  berpengaruh luas pada UMK. Dari 60 item KHL (komponen hidup layak), lebih dari separuhnya berkaitan dengan perubahan harga dan transportasi.

"Kalau tak ada koreksi UMK baru disesuaikan dengan BBM, saya yakin buruh akan demo terus. Ini akan jadi alasan kuat," katanya.

Hening menjelaskan, sejauh ini pihaknya belum menerima keseluruhan usulan nilai UMK dari kabupaten/kota. Namun, berdasarkan informasi sejumlah daerah sudah memproses dan memiliki nilai. Terutama, daerah industri dibandingkan tahun lalu proses penetapannya lebih baik. Tahun lalu, walaupun sudah mendekati penetapan oleh provinsi, kabupaten/kota belum memiliki KHL. Karena, hasil surveynya belum disepakati.

"Tahun ini sudah ada kemajuan, mereka sudah punya survei lebih awal," kataya.

Terkait tuntutan buruh yang meminta kenaikan UMK 30 persen, menurut Hening, setiap tahun tuntutan seperti itu selalu ada. Namun, pihaknya memastikan kenaikan UMK setiap tahunnya tidak lebih dari 20 persen jika didasarkan pada mekanisme dan survey KHL.

Wajar saja, kata dia, kalau buruh menuntut kenaikan 30 persen karena mereka memiliki hak untuk mengajukan. Tapi, perwakilan mereka juga ada di dewan pengupahan. Kalau memaksakan di 30 persen, nilainya dari mana. Karena berbagai aspek seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, perubahan ekonomi yang terjadi, dan juga produktivitas menjadi pertimbangan.

"Tapi sayangnya tidak ada yang bisa mengukur korelasi UMK dengan produktivitas," katanya.

Setiap tahunnya, kata Hening, kenaikan besaran UMK rata-rata kurang dari Rp 500 ribu. Berarti, kenaikannya tidak sampai 30 persen atau hanya ada di kisaran 20 persen bahkan tidak lebih dari 20 persen.

"Mungkin kalau BBM naik saya tidak tahu. Tapi kalau 30 persen tanpa aturan jelas kan tidak fair. Perusahaan bisa tutup," katanya.

Dikatakan Hening, untuk membuat aturan terkait kenaikan BBM ini menjadi tugas kementerian. Pemprov Jabar, sudah meminta untuk bertemu dengan menteri baru. Rencananya, semua provinsi yang tak menetapkan UMP (upah minimum provinsi) akan bertemu dengan menteri bersama-sama. Di antaranya, Jabar, Jateng, Jatim dan DIY.

"Menteri baru memang ingin ketemu dengan semua provinsi yang tak menetapkan UMP. Saya nanti, akan bahas juga masalah kenaikan BBM dan UMK tersebut," jelasnya.

Sementara menurut Sekretaris Komisi V DPRD Jabar, Tetep Abdul Latip, pembahasan upah minimum kota 2015 harus dilakukan sebaik mungkin. Penghitungannya,  jangan sampai merugikan salah satu pihak, baik kalangan buruh maupun pengusaha.

Penghitungan UMK, kata dia, harus melibatkan buruh dan pengusaha. Sehingga, kata Tetep, kedua belah pihak harus duduk bersama dalam merumuskan UMK yang baru. "Intinya bersama-sama mencari win-win solution," katanya.

Selain itu, kata Tetep, pembahasan tersebut harus mengacu pada aturan yang berlaku. Buruh maupun pengusaha harus mengepankan kejujuran dalam memperjuangkan aspirasinya.

"Pengusaha jangan ngotot meraih keuntungan besar, buruh pun jangan ngotot. Kalau keduanya enggak mengalah, tidak akan ada titik temu," katanya.

Tetep menambahkan, dewan pengupahan di setiap kabupaten/kota harus cermat dalam membahas UMK. Terutama, penentuan komponen kebutuhan hidup layak sebagai bahan penghitungan UMK harus dilakukan sebaik mungkin. Selain itu, penetapan UMK 2015 pun harus tepat waktu agar memudahkan dalam pemrosesannya. "Jangan sampai terlambat," tutup Tetep.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement