REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- DPR baru mulai bekerja. Pembentukan komisi-komisi sudah selesai dilakukan. Namun, pembahasan Perppu Pilkada belum juga dimulai.
Padahal, Perppu yang dikeluarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY) itu telah menggantikan UU Nomor 2/2014 tentang Pilkada.
Anggota Komisi II DPR dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Jazuli Juwaini mengungkapkan DPR perlu segera melakukan pembahasan perppu tersebut. Sebab perppu dan undang-undang memiliki perbedaan yang jelas.
Di UU No 2/2014, katanya, pemilihan kepala daerah dilakukan melalui DPRD. Sedangkan di perppu, dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Jazuli mengungkapkan, sampai saat ini masih belum ada surat pelimpahan pembahasa ke komisi II. Yang pasti, pilihan dari pembahasan perppu itu hanya ada dua, ditolak atau diterima.
"Perppu itu hanya dua pilihannya di DPR, ditolak atau diterima. Tidak seperti pembahasan RUU ada pengurangan atau penambahan," kata Jazuli pada Republika di Kompleks Parlemen Senayan, Senin (3/11).
Ia menambahkan, tidak ada perubahan pada konten perppu saat pembahasan di DPR. Karena, perubahan kontek hanya dilakukan untuk amandemen undang-undang atau mengubah undang-undang.
Namun, kata Jazuli, ini adalah persoalan yang berbeda. "Revisi undang-undang persoalan sendiri, tidak boleh kita merevisi undang-undang untuk menjawab perppu," imbuh Jazuli.
Ia berharap, pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dapat menunggu hasil pembahasan perppu di DPR. Jangan malah mengambil langkah teknis seperti simulasi pemilihan umum.
Karena, akan menimbulkan bongkar pasang sistem. "Kalau ada bongkar pasang sistem kasihan di tataran teknis karena sudah memahami sistem nanti diganti lagi," kata Jazuli.
Dengan menunggu keputusan DPR, katanya, kemendagri dan KPU memiliki pijakan legal yang jelas untuk melaksanakan pilkada.