REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -— Pemerintah diminta tidak buru-buru menaikan harga BBM. Kenaikan harga BBM dinilai akan memicu penurunan produktivitas nasional jika tidak diimbang dengan skema baru antisipasi dampak kenaikan harga BBM.
kata Wakil ketua Komisi V DPR RI Yudi Widiana Adia mengatakan sebaiknya pemerintahan Jokowi—JK tidak buru-buru menaikan harga BBM. Dampaknya akan sangat luar biasa jika kenaikan ini tidak diimbangi dengan terobosan baru untuk mengantisipasinya.
"Saya melihat, sampai saat ini belum ada skema baru yang ditawarkan Jokowi—JK yang bisa menjamin bahwa kenaikan BBM tidak akan membuat masyarakat semakin terpuruk, termasuk bisa menyelamatkan kesehatan fiscal APBN dalam jangka panjang,” kata Wakil ketua Komisi V DPR RI Yudi Widiana Adia, dalam siaran pers yang diterima Republika Online (ROL), Ahad (2/11).
Yudi mengkhawatirkan kenaikan BBM Rp3000/liter yang terburu-buru dilakukan pemerintah dengan alasan untuk menyelamatan APBN 2015 justru akan menambah jumlah orang miskin dan penurunan produktivitas nasional.
Kenaikan harga BBM, kata Yudi, otomatis akan mendongkrak kenaikan semua harga, khususnya sembako dan biaya transportasi. Apalagi, pemerintah belum menyiapkan skema baru untuk mensubsidi para pengguna transportasi umum yang didominasi kaum pekerja dan buruh.
“Kenaikan BBM akan berdampak langsung kepada kenaikan biaya transportasi sekitar 30 persen. Itu artinya pengeluaran masyarakat untuk biaya transportasi , termasuk pangan, sandang dan papan juga akan meningkat. Karena itu, perlu dipikirkan bagaimana agar penumpang transportasi public bisa mendapatkan subsidi. Selama ini yang mendapat subsidi hanya pengguna KRL,” kata Yudi.
Seperti diketahui, kenaikan BBM sebesar Rp1500, angka kemiskinan akan naik 1-2 persen. Kenaikan harga BBM untuk seluruh segmen masyarakat apalagi dengan angka sangat tinggi sebesar Rp3000/liter tentunya akan meningkatkan beban kehidupan sehari-hari masyarakat. Jumlah masyarakat miskin otomatis akan meningkat akibat inflasi karena menurunnya daya beli.