Ahad 02 Nov 2014 14:05 WIB

Inklusivitas dan Pluralisme Perlu Dikembangkan pada Pendidikan

Rep: Heri Purwata/ Red: Erdy Nasrul
Angka anak Indonesia yang menempuh pendidikan di bangku kuliah masih sangat rendah.
Foto: Musiron/Republika
Angka anak Indonesia yang menempuh pendidikan di bangku kuliah masih sangat rendah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAYAPURA -- Ketua Umum Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI), Edy Suandi Hamid mengatakan sifat inklusivitas dan pluralisme dalam pendidikan di Indonesia perlu dikembangkan. Sebab pola pikir inklusivitas akan mempermudah pemahaman dan penerimaan akan pluralisme yang ada di Indonesia.

Edy Suandi Hamid mengemukakan hal itu dalam orasi ilmiah pada acara Wisuda di Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (STIKOM) Muhammadiyah Jayapura, di Gedung Pertemuan Walikota Jayapura, Sabtu (1/11). Wisuda dilakukan Ketua STIKOM M Syukri dan dihadiri Koordinator Kopertis XIV, V  Simbiak.

Lebih lanjut Edy mengatakan wilayah Indonesia sangat besar, penuh dengan keragaman suku, agama, budaya, ras ataupun golongan. Sehingga pengembangan sifat inklusivitas dan pluralisme akan melahirkan sikap saling pengertian, dan harmoni. Sikap ini dapat mencegah terjadinya konflik antar masyarakat yang memiliki perbedaan itu. 

"Selain itu, juga dapat menghindarkan terjadinya gerakan-gerakan radikal yang bisa menimbulkan instabilitas berkepanjangan dan merugikan Bangsa ini," kata Edy.

Edy mengemukakan itu berdasarkan realitas di lapangan. Pada wisuda di STIKOM Muhammadiyah Jayapura ada 146 orang dengan perincian sebanyak 126 orang (86,3 persen) beragama Kristen/Katolik dan hanya 20 orang (13,7 persen) yang beragama Islam.

"Ini suatu yang patut diapresiasi. Upaya mencerdaskan anak bangsa yang dilakukan perguruan Muhammadiyah tidak hanya bagi komunitas muslim, melainkan juga umat lainnya. Ini menunjukkan sifat inklusivitas Muhammadiyah yang merupakan Ormas berbasis Islam, namun tidak membeda-bedakan agama dalam kiprahnya membangun Bangsa ini," kata Edy yang juga Wakil Ketua Majelis Pendidikan Tinggi dan Litbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah ini.

Menurut Edy, Perguruan Tinggi Muhammadiyah yang berkembang di daerah-daerah Papua seperti di Manokwari, Jayapura, dan Sorong, juga di Nusa Tenggara Timur (NTT) seperti Kupang, justru menampung mahasiswa paling banyak beragama non-Islam. Karena itu, diharapkan apa yang dilakukan STIKO Muhammadiyah Jayapura ini bukan saja harus terus dilanjutkan dan dikembangkan, melainkan juga bisa ditiru oleh Ormas-ormas lain yang mempunyai lembaga pendidikan di tanah air ini.

 

Bagi lulusan dari lembaga pendidikan yang inklusif, kata Edy, mereka sudah memiliki modal sosial yang besar untuk terjun ke masyarakat. Sebab setelah lulus para alumni tersebut akan bertebaran di muka bumi ini untuk berkarya, maka yang dihadapi di manapun adalah situasi dan masyarakat yang sangat majemuk. Pandangan pluralisme yang menjadi pola pikirnya akan memudahkan mereka untuk beradaptasi di masyarakat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement