Ahad 02 Nov 2014 12:53 WIB

Begini Lucunya Muktamar PPP di Jakarta

Rep: Mas Alamil Huda/ Red: Esthi Maharani
Sekretaris Majelis Pakar PPP Ahmad Yani (kanan).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Sekretaris Majelis Pakar PPP Ahmad Yani (kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Proses pemilihan ketua umum PPP periode 2014-2019 dalam Muktamar VIII di Hotel Sahid, Jakarta berlangsung singkat dan terkesan dipaksakan. Sidang pemilihan ketua umum yang dipimpin Habil Marati itu tiba-tiba langsung menetapkan Djan Faridz sebagai ketua umum secara aklamasi.

Tanpa mendengar pendapat satu pun dari muktamirin, pemimpin sidang mengesahkan Djan Faridz sebagai ketua umum terpilih dan langsung mengetuk palu sidang. Pertimbangan yang diambil hanya dari pandangan umum DPW yang diwakili 9 orang mewakili regional saat menanggapai laporan pertanggungjawaban SDA.

Politisi PPP Ahmad Yani yang sebelumnya menyatakan kesiapannya untuk maju menjadi calon ketua umum hanya geleng-geleng kepala. Duduk di barisan pertama, Ahmad Yani segera bergegas ke luar ruangan dengan raut muka kecewa sesaat setelah palu sidang diketuk.

Yani menyatakan kekecewaannya atas dipilihnya Djan Faridz sebagai ketua umum periode 2014-2019 secara aklamasi. Yani menyebut Muktamar VIII PPP di Jakarta ini jauh lebih buruk dari Muktamar VIII PPP di Surabaya versi Romahurmuziy dkk.

"Ini cara-cara tidak //fair// dan tidak demokratis, (muktamar) ini jauh lebih buruk dari muktamar di Surabaya," katanya sesaat setelah pemimpin sidang Habil Marati menetapkan Djan Faridz sebagai ketua umum terpilih secara aklamasi, Ahad (2/11) dini hari.

Menurut Yani, pemilihan ketua umum di PPP dilakukan adalah //one man one vote//. Pemimpin sidang tidak memberi kesempatan sama sekali kepada peserta muktamar (muktamirin) untuk menyampaikan pendapat. "Saya tidak mengerti kenapa terjadi skenario seperti itu," ujarnya.

Mantan anggota Komisi III DPR RI ini tidak mau menyatakan penerimaannya terhadap hasil muktamar. Menurutnya, cara-cara yang dilakukan tidak elegan dan tidak mencerminkan partai Islam yang demokratis. Cara tersebut dinilai memotong dan mengebiri hak kader untuk maju menjadi calon ketua umum.

"Nanti kita lihat saja perkmbangannya, apakah muktamar ini menghasilkan PPP yang lebih baik. Sejarah yang akan membuktikan hasil sidang seperti itu," katanya dengan mengernyitkan dahinya.

Yani mengatakan, keputusan memilih ketua umum tidak bisa didasarkan berdasarkan pendapat dari 9 ketua DPW yang mewakili regional. Apalagi, kata dia, pernyataan dukungan kepada Djan Faridz disampaikan dalam pandangan umum untuk menanggapi laporan pertanggungjawaban (LPJ) ketua umum periode 2011-2014 Suryadharma Ali (SDA).

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement