REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengusulkan kepada pemerintah agar menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri, bukan 1 Muharram yang merupakan hari besar Islam.
"Akan lebih pas jika Hari Santri ditetapkan pada tanggal 22 Oktober. Ini adalah hari ketika di tahun 1945 Hadratussyaikh KH Hasyim Asyari, Rois Akbar PBNU, menetapkan Resolusi Jihad," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj di sela-sela Munas dan Konbes NU di Jakarta, Sabtu.
Menurut Said Aqil, Resolusi Jihad yang ditetapkan KH Hasyim Asyari berhasil menggerakkan kaum Muslimin ketika itu untuk berjihad mengangkat senjata melawan sekutu, sehingga terjadi pertempuran hebat di Surabaya pada 10 November 1945 yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Dengan menjadikan tanggal keluarnya Resolusi Jihad sebagai Hari Santri, PBNU ingin melandasi peringatan hari besar yang dijanjikan Presiden Joko Widodo itu dengan latar kesejarahan yang jelas.
Saat kampanye Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) lalu, Presiden Joko Widodo melontarkan janji dan berkomitmen untuk menjadikan 1 Muharram menjadi Hari Santri.
Meski mendapat sambutan hangat dari kalangan santri, ide Hari Santri pada tanggal 1 Muharram juga menuai kritik, termasuk dari kalangan NU, mengingat tanggal itu merupakan Tahun Baru Islam atau awal tahun dalam penanggalan hijriyah yang merupakan hari besar bagi seluruh umat Islam.
Pada 1 Muharram lalu, janji itu pun ditagih oleh kalangan santri, termasuk oleh Said Aqil. Namun, Presiden belum mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Hari Santri.