REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dualisme yang terjadi di DPR dikhawatirkan memberi efek negatif terhadap isu strategis yang harus dibahas dalam waktu dekat. Seperti Perppu Nomor 1/2014.
Karena pengambilan keputusan tidak akan bisa dilakukan jika komposisi fraksi antara dua kubu seperti saat ini. Yaitu lima fraksi dalam Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan lima fraksi dalam Koalisi Merah Putih (KMP).
"Menurut Tatib DPR pengambilan keputusan dilakukan melalui rapat, kalau dua kelompok ini tetap mau menang-menangan maka dengan perbandingan lima fraksi lawan lima fraksi enggak bisa ambil keputusan," kata Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie di Jakarta, Kamis (30/10).
Jika hubungan antara kedua kubu tidak segera dicairkan, menurut Jimly, tentu berpengaruh pada pengambilan isu strategis ke depan. Meski dalam pengambilan keputusan, anggota fraksi bisa saja memilih sikap berbeda dengan sikap partainya.
Namun dengan sikap berbeda tersebut, anggota fraksi di DPR masih dibayangi ketakutan akan ditarik keanggotaannya sekaligus kedudukannya di DPR (party recall). Apa lagi aturan sanksi tersebut dicantumkan dalam UU MPR, DPR, DPRD, dan DPD.
"Jadi harus mengubah satu pasal mengenai party recall. Parpol enggak boleh memberhentikan anggota DPR hanya karena anggota tersebut berbeda dengan partai dalam memperjuangkan aspirasi rakyat," ujar Jimly.
Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia itu mengatakan, anggota DPR yang sudah dipilih dengan sistem proporsional terbuka seharusnya tidak begitu saja ditarik hanya karena punya sikap berbeda. KIH harusnya bisa memahami situasi yang terjadi saat ini dengan jernih.
"KIH harus siap menerima kenyataan, tidak usah khawatir jegal-menjegal. Kalau lima tahun ke depan bisa mempraktikkan presidensial dengan keyakinan presiden kita bisa kuat, impeachment bukan ancaman," ungkapnya.