Jumat 31 Oct 2014 05:01 WIB

Cerita Ringan Seputar Pemillihan Menteri

Arif Supriyono
Foto: doc.pribadi
Arif Supriyono

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Arif Supriyono

Presiden Joko Widodo sudah melantik dan 34 anggota kabinetnya. Suara pro dan kontra tentu saja mewarnai pengangkatan para menteri itu.

Sebagian pihak memberikan dukungan dan menyatakan kepuasannya atas penetapan para menteri ini. Namun, tak sedikit pihak yang kecewa dengan pemilihan nama-nama dalam kabinet kali ini.

Mereka yang kecewa di antaranya dari kalangan internal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), parpol lain, pengamat, pelbagai organisasi massa keagamaan dan nonkeagamaan, relawan, dan masyarakat awam.

 

Aneka sudut yang menjadi sorotan, mulai dari kapabilitas, keterwakilan unsur pendukung/golongan/kesukuan, dan profesionalitas. Tak hanya itu, perilaku dan etika juga pasti menjadi penilaian.

Tentu saja presiden dan wakil presiden telah menggunakan banyak pertimbangan untuk menetapkan nama-nama itu sebagai menteri. Masukan dari berbagai pihak juga pasti menjadi salah satu acuan, meski kepentingan ‘nasional’ --dalam kacamata presiden dan wakilnya-- tetap menjadi pertimbangan utama.

Cara memberi tahu atau menyeleksi calon menteri pun bisa beraneka. Zaman dulu, sang presiden cukup menelepon kandidat menteri.

Ada pula yang jauh lebih maju dalam proses seleksi calon menteri, dengan cara melakukan uji kelayakan dan kepatutan atau presentasi. Meski demikian, hasilnya tak bisa menjadi jaminan karena terbukti di tengah jalan banyak sekali terjadi pergantian atau reshuffle. 

Saya tak hendak membahas soal cara menyeleksi atau memilih menteri. Hanya cerita ringan dan unik yang mungkin di luar dugaan kita --seputar penetapan anggota kabinet waktu lalu-- yang mau saya utarakan.  

Suatu ketika, seorang jenderal purnawirawan bercerita kepada saya. Kala itu presiden baru saja mengumumkan susunan kabinet. Tanggapan khalayak sangat beragam, antara puas dan tak puas.

Sebagian warga Maluku yang merasa tak terwakili dalam kabinet pun memprotes keras. Mereka melakukan unjuk rasa di Jakarta dan Maluku dengan membentangkan bermacam poster. Hampir sama seperti yang terjadi saat ini, salah satu ancaman yang dilakukan adalah ajakan agar Maluku lepas dari Indonesia alias merdeka.

Entah karena mendengar tuntutan dari sebagian rakyat Maluku itu atau ada pertimbangan lain, tak berapa lama kemudian, presiden mengangkat putra Maluku sebagai pucuk pimpinan  TNI AD. Unjuk rasa pun reda karenanya.

Menurut jenderal purnawirawan tadi, memang jenderal asal Maluku itu termasuk salah satu calon yang memang dipertimbangkan oleh presiden untuk mendapatkan promosi di jajaran TNI AD. Artinya, ada beberapa calon lain yang menjadi saingan jenderal dari Maluku itu.

Tatkala saya tanya, apakah calon lain itu berada di posisi yang lebih diunggulkan, sang purnawirawan ini tak mau menjawab dan hanya tersenyum. Saya pun berusaha memberi makna senyuman penuh arti itu meski tak ketemu jua jawabannya.

Bisa jadi soal keterwakilan daerah ikut menjadi salah satu pertimbangan presiden dalam menetapkan pucuk pimpinan di TNI AD. Bisa jadi pula, presiden sudah sejak lama akan menetapkan sang jenderal tersebut untuk menduduki posisi puncak di TNI AD dan karena itu putra Maluku tak ada yang dimasukkan dalam jajaran kabinet.

Di saat yang lain, seorang pimpinan lembaga tinggi negara bercerita kepada saya tentang penetapan menteri yang akan menjadi pengganti menteri lain di tengah jalan. Beberapa saat sebelum pengumuman menteri pengganti tersebut, si pimpinan lembaga tinggi negara itu --yang sedang berada di istana-- dipanggil presiden di salah satu ruang istana.

Mereka bicara berdua. Panjang-lebar topik yang mereka diskusikan sebelum akhirnya berbelok ke masalah kabinet.

Presiden lalu menjelaskan alasan memilih seseorang untuk menjadi menteri pengganti. “Kalau Pak pimpinan lembaga tinggi negara perhatikan, dalam kabinet saya selama ini, belum pernah ada menteri dari partai saya yang berasal dari suku Jawa. Ini menjadi perhatian saya,” kata sang pimpinan lembaga tinggi negara menirukan ucapan presiden.

Presiden tak ingin kelak dipersalahkan gara-gara masalah ini. Tak hanya itu alasannya. Presiden pun sempat mendapat masukan --atau lebih tepatnya keluhan-- dari beberapa pihak tentang tak adanya menteri dari suku Jawa yang berasal dari partai itu.

Mereka lalu menyebut beberapa nama menteri yang berasal dari partai tersebut selama dua periode pemerintahan. Memang benar, menteri yang berasal dari dari partai itu semuanya berlatar belakang suku non-Jawa.  Padahal, partai itu paling banyak menempatkan personelnya sebagai menteri. 

Ada memang beberapa menteri dari suku Jawa tetapi bukan berasal dari partai tersebut. Itu sebabnya presiden dengan mudah memilih nama pejabat tersebut untuk menjadi menteri pengganti dari partainya, menyingkirkan nama-nama lain yang ada yang kebetulan semuanya berasal dari suku luar Jawa.

Jadilah kemudian sang pejabat itu menjadi menteri pengganti. Legalah kemudian sang presiden. Rasa bersalah karena mengabaikan suku Jawa tak lagi menghantui pikiran presiden dan tak akan pernah menjadi catatan ‘buruk’ sejarah kabinet di era sang presiden tersebut.

Inilah cerita yang pernah terjadi. Anda boleh percaya dan sangat boleh untuk tidak percaya. Terkadang, persoalan yang sekilas terlihat remeh-temeh ikut menentukan dalam proses pembuatan kebijakan yang sangat penting dan strategis.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement