REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengatakan penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut justru membuka peluang pengrusakan ekosistem gambut. PP Gambut tersebut merupakan turunan bersyarat dari UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Di penghujung rezim SBY, sebuah peraturan pemerintah kembali diproduksi dengan mengabaikan azas kehati-hatian. Kami menilai PP tersebut justru akan membuka peluang pengrusakan dan penghancuran ekosistem gambut yang tersisa saat ini,” kata Manager Kampanye Walhi, Edo Rakhman, melalui rilis yang diterima Republika, Sabtu (25/10).
Edo mengatakan fakta yang terjadi saat ini, kebakaran hutan dan lahan sebagian besar terjadi di ekosistem gambut. Namun, sejauh ini pemerintah tidak mampu menanggulangi secara maksimal. “Pemerintah justru terkesan membiarkan kebakaran hutan dan lahan terus terjadi selama bertahun-tahun,” imbuhnya.
Dia menilai beberapa indikasi tidak adanya komitmen yang kuat dari pemerintah antara lain, tidak menghentikan pemberian ijin konversi hutan dan ekosistem gambut. Selain itu, pemerintah enggan mendorong upaya penegakan hukum yang memberikan efek jera terhadap perusahaan-perusahaan yang melakukan pembakaran di dalam areal konsesinya.
Di smaping itu, WALHI menganalisa bahwa PP No 71 Tahun 2014 justru semakin melemahkan semangat penegakan hukum dan semakin membuka peluang munculnya ijin-ijin konsesi baru di atas lahan gambut. Sebab, dalam PP tersebut tetap mengatur adanya fungsi budidaya di atas ekosistem gambut. Standar baku kerusakan yang diatur dalam PP tersebut secara tidak langsung masih membolehkan konversi lahan gambut. Meski secara praktek standar baku mutu yang selama ini di gadang-gadang oleh pemerintah pun tidak mampu dikontrol secara baik dan tegas.
“Fungsi budidaya tentu sangat membuka peluang baru untuk aktivitas perkebunan skala besar dan juga pertambangan,” ujarnya.