REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pemerintah Indonesia perlu mewaspadai kejahatan terorganisasi yang bersifat transnasional, dengan menangani kasus tersebut secara komprehensif, kata peneliti dari Pusat Studi Keamanan dan Perdamaian Universitas Gadjah Mada Sigit Riyanto.
"Selama ini respons pemerintah terhadap berbagai persoalan kejahatan terorganisasi yang bersifat transnasional seperti perdagangan obat terlarang, penyelundupan orang, perdagangan manusia, dan pencucian uang hasil kejahatan dinilai kurang komprehensif," katanya di Yogyakarta, Jumat.
Pada sosialisasi "Kajian Pemetaan dan Dampak Negatif Transnational Organized Crime Bagi Indonesia: Politik, Ekonomi, Sosial, Budaya", ia mengatakan kasus perdagangan dan penyelundupan orang, misalnya, pendekatan yang digunakan cenderung memandang perdagangan dan penyelundupan manusia sebagai masalah migrasi dan keamanan semata.
"Akibatnya, upaya pemberantasan masih terbatas pada aspek legal formal dan lepas dalam melihat beberapa faktor penting lain seperti sosial, ekonomi, dan politik," katanya.
Selain itu, kata dia, juga pada kasus perdagangan gelap narkoba di Indonesia. Langkah Indonesia untuk menangani persoalan narkoba antara lain melalui ratifikasi perjanjian internasional yang melarang perdagangan narkoba, kampanye antinarkoba, dan layanan kesehatan serta rehabilitasi bagi korban.
"Upaya tersebut juga belum efektif karena munculnya faktor-faktor penghambat seperti tidak ada evaluasi terhadap kampanye antinarkoba yang dilakukanpemerintah, sistem hukum yang korup maupun dana layanan kesehatan dan rehabilitasi bagi pengguna yang minim," katanya.
Pakar hukum UGM Harry Purwanto mengatakan persoalan TOC bisa menyebabkan konflik yurisdiksi antarnegara. Hal itu terjadi ketika masing-masing negara merasa memiliki kewenangan untuk menyelesaikan di negaranya sendiri.
"Namun, yang terpenting dalam hal itu adalah selain menertibkan peraturan perundangan-perundangan juga meningkatkan kerja sama antarnegara dalam penanganan kasus tersebut," katanya.