REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wacana masuknya nama mantan menteri keuangan Sri Mulayani sebagai calon Menko Perekonomian dalam kabinet pemerintahan Jokowi-JKmembuat masyarakat menanyakan nasionalisme keduanya.
Sekretaris Jenderal FITRA, Yenni Sucipto mengatakan bahwa Sri Mulyani akan membawa Indonesia dalam ekonominya akan bergantung kepada pihak asing atau neoliberalisme.
"Ketika nama Sri Mulyani muncul, sama saja membawa Indonesia tidak mandiri lagi, bisa-bisa negara ini hancur," imbuhnya dalam acara diskusi bertajuk 'Pak Jokowi: Tidak Pada Kabinet Mafia, Koruptor dna Neoliberal', di Kedai Kopi Deli, Jakarta Pusat, Jumat (17/10).
Kata dia, penolakan itu bukan tanpa alasan dan dasar. Fitra, ucap Yenni ketika Sri Mulyani masih menjabat sebagai menteri keuangan di kabinet Indonesia bersatu jilid I melakukan analisa tentang kebijakan pemerintah mengenai asumsi makro sebagai tolak ukur penyusunan APBN tiap tahunnya.
"Dari situ saja kita sudah bisa melihat bahwa kedepannya Indonesia tidak akan mandiri dengan model asumsi makro ekonomi yang disusun oleh Sri Mulyani," beber dia.
Jokowi harus memiliki keberanian untuk membersihkan kabinetnya dari orang-orang bermasalah seperti halnya orang-orang yang terindikasi masalah korupsi. Memilih orang-orang yang pernah menjadi "pasien" KPK sangat beresiko bagi Jokowi. Karena hal itu bisa meruntuhkan kepercayaan publik.
Selain itu, Jokowi harus mampu menghindari orang-orang yang merupakan bagian dari jejaring kapitalis lokal maupun asing dan jejaring para mafia yang telah menghisap kekayaan alam dan merampok anggaran negara dengan berbagai cara. Nama-nama seperti Darwin Silalahi yang kini menjabat CEO Shell, Henky Soesilo, dan Ari Soemarno dinilainya mendapat penolakan keras dari sejumlah elemen masyarakat.