Kamis 16 Oct 2014 14:18 WIB

Pengamat: SBY akan Dicap tak Beretika Jika Ratifikasi FCTC

 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdoa saat acara peresmian secara simbolis Asrama Mahasiswa Indonesia 'SBY' di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir di halaman Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (3/10). (Antara/Andika Wahyu)
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berdoa saat acara peresmian secara simbolis Asrama Mahasiswa Indonesia 'SBY' di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir di halaman Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Jumat (3/10). (Antara/Andika Wahyu)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --Ahli Tata Hukum Negara, Refly Harun berpendapat, jika Presiden SBY menuruti desakan sejumlah pihak agar segera meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau alias Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), maka ia bakal dicap tidak beretika.

"Kalau bicara etika pemerintahan, jika dipenghujung periode Presiden meratifikasi rasanya Presiden kurang beretika," ujar Refly Harun kepada wartawan, Kamis (16/10).

Ia menilai keputusan ini hanya akan membebani pemerintahan berikutnya. Terlebih FCTC adalah salah satu produk kebijakan strategis. Karena ada masyarakat yang menerima dan ada yang menolak, maka produk kebijakannya bakal kontroversial.

"Ini bakal menjadi beban bagi pemerintah selanjutnya, beban itu dinilai dari tingkat kontroversinya," ujar Refly.

Refly menegaskan, kebijakan tembakau menyangkut kepentingan rakyat banyak, karena itu prosesnya tidak mudah. Karenanya, ia menyarankan Presiden SBY mengajak DPR untuk duduk bersama membahas rencana ini, bukan meratifikasi secara sepihak.

Maka, tambah Refly, sangat tidak baik tidak bisa ditetapkan dalam kurun waktu kurang dari 10 hari sisah pemerintahan. "Ini menyangkut rakyat banyak, jadi Harus persetujuan DPR, bukan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres)," ujarnya.

Sebelumnya, senada dengan Rafly,Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menegaskan, jika Presiden SBY memutuskan mengaksesi FCTC bisa diartikan sebagai tindakan abai pemerintah terhadap kesejahteraan rakyatnya.

“Kalau Pemerintah ingin mewujudkan kesejahteraan rakyat, salah satu yang dapat dilakukan adalah berlaku adil terhadap kelompok petani, termasuk dari komoditas tembakau,” kata Hikmahanto.

Dia menambahkan, bertani tembakau sudah menjadi tradisi turun temurun sebagian masyarakat Indonesia dalam mencapai kesejahteraan. Dukungan Pemerintah terhadap kelangsungan pertanian tembakau adalah bagian dari perwujudan kesejahteraan tersebut.

 “Terwujudnya kesejahteraan masyarakat adalah kewajiban bersama yang harus melibatkan semua stakeholders. Maka Kementerian Kesehatan dan sekutunya tidak berkompeten untuk meratifikasi FCTC,” papar Hikmahanto.

Peneliti Senior Lembaga Masyarakat Pemangku Kepentingan Kretek Indonesia (MPKKI) Profesor Kabul Santoso meminta Presiden SBY untuk tidak menuruti keinginan beberapa pihak untuk segera mengaksesi FCTC tembakau (Framework Convention on Tobacco Control).

“Jangan hanya karena disindir Indonesia tidak mengaksesi FCTC, lalu pemerintah memaksakan kehendaknya untuk membunuh petani dan industri tembakau yang selama ini menjadi sumber penghasilan masyarakat dan negara,” jelas dia.

MPKKI berharap di akhir masa pemerintahannya, Presiden SBY tetap tidak mengaksesi FCTC. Sikap Presiden SBY bila menolak meneken FCTC itu merupakan wujud perlindungan terhadap keberlangsungan industri nasional tembakau dari hulu ke hilir.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement