Selasa 14 Oct 2014 17:20 WIB

Pengembangan Energi Masih Terkendala Teknologi

Petugas PLN memasang instalasi listrik baru di Perumahan Kawasan Mampang, Jakarta, Kamis (7/8). (Republika/Prayogi)
Foto: Republika/Prayogi
Petugas PLN memasang instalasi listrik baru di Perumahan Kawasan Mampang, Jakarta, Kamis (7/8). (Republika/Prayogi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji mengatakan perkembangan sektor energi masih terkendala masalah teknologi, terutama terkait penggunaan teknologi dalam eksekusi pembangunan fasilitas modern.

Pasalnya, penggunaan teknologi dalam pengembangan fasilitas energi modern masih didominasi oleh mesin impor.

"Bagaimana penggunaan teknologi untuk mengeksekusi pengembangan fasilitas modern? Kita sendiri tidak punya industri mesin karena kebanyakan diimpor," kata Nur dalam peluncuran dokumen "Skenario Bandung: Sketsa Energi Nasional 2030" di Jakarta, Selasa (14/10).

Saking banyaknya mesin yang diimpor dalam sejumlah sektor, kapal perang Indonesia pun, katanya, ternyata digerakkan oleh mesin diesel impor. "Saya bahkan sering bercanda mengatakan, 'Kalau lagi perang, kapal kita bisa dikendalikan dari jauh untuk berhenti'," katanya.

Dikatakannya, pertumbuhan energi Indonesia yang cukup tinggi merupakan peluang untuk menumbuhkan kemampuan teknologi dalam negeri. "Tinggal bagaimana nanti menggunakan pertumbuhan energi Indonesia sebagai sarana untuk menumbuhkan teknologi kita," ujarnya.

Tak hanya minimnya teknologi, pengembangan energi modern juga terkendala proses perizinan mulai dari aspek sosial hingga kewenangan pihak terkait Selain itu, adanya faktor eksternal seperti volatilitas nilai tukar rupiah, geopolitik internasional, perebutan konsesi hingga tekanan para "environmentalis" yang punya kepentingan tertentu, juga dinilai menjadi penghalang perkembangan energi nasional.

Belum lagi, masalah pendanaan untuk membiayai pertumbuhan dan pemerataan energi juga masih terus membayangi.

Menurutnya, meski pertumbuhan energi nasional terus tumbuh hingga di atas angka 5 persen, layanannya belum merata. Tak perlu jauh-jauh mengambil contoh, dikatakannya desa-desa terpencil di Pulau Jawa bahkan masih ada yang belum dialiri listrik.

"Dulu ada yang bilang kalau diserahkan ke swasta katanya akan cepat selesai. Padahal, banyak juga yang gagal. Makanya saya rasa kita harus punya kombinasi yang tepat untuk pembiayaan apakah dengan APBN atau BUMN atau perusahaan energi yang kuat," ujarnya.

Hal lainnya yang harus dipertimbangkan, kata Nur, yakni pertimbangan soal harga, termasuk bagaimana para pemangku kebijakan bisa memikirkan pasokan energi untuk generasi mendatang.

"Bagaimana energi ini nantinya dibeli konsumen. Apakah tidak dosa, kalau kita sekarang bisa pakai energi murah tapi meninggalkan utang yang besar untuk anak cucu nanti?" katanya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement