Selasa 14 Oct 2014 06:00 WIB

Danau Dendam tak Sudah

Professor Ahmad Syafii Maarif
Foto: Republika/Daan
Professor Ahmad Syafii Maarif

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ahmad Syafii Maarif

Saya sudah lama penasaran untuk suatu saat bisa mengunjungi DDTS (Danau Dendam Tak Sudah), sekitar enam km dari Kota Bengkulu, dikitari oleh empat kecamatan: Teluk Segara, Seleber, Talang Empat, dan Bengkulu Tengah. Bagi saya nama ini demikian puitis, jika bukan romantis, sekalipun menurut legenda rakyat memuat cerita tragis-dramatis. Diantar oleh pimpinan wilayah dan pimpinan UMB (Universitas Muhammadiyah Bengkulu), pada 8 Okt. siang kerinduan saya untuk menyaksikan dari dekat DDTS itu menjadi kenyataan sudah. Angan-angan melayang jauh menyaksikan ombak danau yang damai bersahabat. Cantik nian danau ini, tetapi namanya tetap saja mengundang tanda tanya yang sarat misteri.

Tiba-tiba nalar politik saya muncul saat menyebut DDTS, melayang ke Sidang DPR, pada 1-2 Okt. 2014, yang brutal dan main sapu bersih itu. Tidak satu pun yang tersisa kursi pimpinan DPR untuk parpol yang berseberangan, sesuatu yang tak elok diteruskan oleh sesama anak bangsa. Maka di sini berlaku pula dendam tak sudah sebagai ekor dari kekalahan dalam pilpres pada 9 Juli yang lalu. Berbeda dengan suasana di DPR, proses pemilihan pimpinan MPR, sekalipun alot selama berjam-jam, terasa lebih beradab. Bahwa siapa pemenangnya tidak lagi dipersoalkan, karena perdebatan relatif telah berlangsung dalam iklim demokrasi terbuka tanpa diselimuti dendam yang menggebu, padahal sebagian besar pemainnya orang yang sama juga.

Sebelum Sidang MPR, saya kirim SMS kepada pimpinan DPD agar mereka tampil sebagai negarawan yang sedang inflasi di DPR. SMS saya ditanggapi positif, sekalipun DPD sendiri tidak kompak mendukung calonnya untuk diusung menjadi Ketua MPR. Dengan terpilihnya Zulkifli Hasan dari PAN sebagai Ketua MPR yang baru, suasana politik sedikit berubah ke arah yang lebih tenang, lebih sejuk, berkat pernyataan singkatnya yang bernada damai setelah terpilih. Kepada ketua baru ini SMS saya sore 8 Okt. berbunyi: “Selamat memimpin MPR, semoga diberkati Allah, demi keutuhan bangsa dan negara.” SMS ini satu menit kemudian dibalas dan diamini oleh yang bersangkutan sambil mengucapkan terima kasih. Tentu saja ke depan semua kita tidak boleh membiarkan bangsa dan negara ini terkoyak oleh perasaan dendam berkepanjangan. Kemenangan dan kekalahan dalam pertandingan adalah lumrah belaka. Yang tidak lumrah dan tidak sehat adalah memelihara sikap dendam yang menguras energi secara sia-sia.     

Perkataan dendam tidak selalu berkonotasi buruk, tergantung kepada kata pendampingnya. Ungkapan rindu-dendam adalah suasana batin mereka yang sedang dimabuk cinta, tetapi dendam-kesumat atau balas dendam bila dikaitkan dengan perpolitikan Indonesia tercermin dalam Sidang DPR di atas jelas semakin merusak tatanan demokrasi yang memang sudah rusak. Taruhannya adalah 250 juta rakyat Indonesia akan menderita dan tersandera oleh kelakuan elite yang suka balas dendam itu. Jalan ke luarnya adalah kesediaan membebaskan diri dari virus dendam, demi keutuhan bangsa dan negara yang sedang oleng ini. Dalam sistem politik demokrasi di mana pun di muka bumi, kekuatan oposisi sangat diperlukan agar pemerintah tidak menyimpang dari acuan konstitusi dan amanat rakyat. Tetapi oposisi yang ingin terus melibas lawan politiknya tanpa nalar bisa meruntuhkan sistem demokrasi yang dengan susah payah telah dibangun.

Kembali ke DDTS. Setidak-tidaknya ada dua versi tentang asal-usul nama danau itu. Legenda mengatakan bahwa jauh di masa silam, entah kapan, ada dua sejoli yang saling jatuh cinta, tetapi terbentur karena dihalangi oleh orang tua pihak perempuan yang ingin punya menantu peria lain. Dua sejoli yang telah bersatu hati itu menempuh jalan singkat: bunuh diri dengan terjun ke dalam danau untuk tidak muncul lagi. Rindu-dendam yang tidak kesampaian itu diabadikan menjadi DDTS karena di sanalah dua sejoli yang malang itu berkubur dengan kedalaman sekitar 15 meter.

Versi lain mengatakan bahwa pemerintah kolonial pernah punya rencana membangun dam untuk menata aliran air danau itu. Sampai usai penjajahan, dam itu tidak pernah menjadi kenyataan. Entah bagaimana ceritanya sebelum kata ‘dam’ diberi kata ‘den’, menjadi dendam. Karena dam itu tidak pernah disudahkan, maka muncullah ungkapan puitis DDTS. Bagi saya yang kedua ini sama sulitnya diterima seperti juga asal-usul nama yang pertama. Lalu?: antahlah yuang, kata orang Minang. Tetapi bagaimana pun, bagi saya DDST tetap saja menyiratkan nuansa puisi, sedangkan sikap dendam yang dipertontonkan di Senayan mewakili sosok politisi yang sedang haus kekuasaan dengan cara menyapu bersih lawan politiknya dari posisi pimpinan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement