REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Universitas Indonesia (UI), Zulfikar Ghazali, mengatakan Presiden tidak memerlukan Menteri Koordinator (Menko) dalam jajaran kabinetnya. Sebab, adanya Menko menunjukkan presiden tidak mampu mengkoordinatori para menterinya.
"Apa gunanya Menko? Seperti kembali ke zaman Orde Baru," kata Zulfikar saat dihubungi Republika, Ahad (12/10).
Zulfikar mengatakan saat pemerintahan Soeharto, presiden menguasai semua bidang, sehingga diperlukan Menteri Koordinator. Sedangkan negara demokrasi secara ideal polanya desentralisasi dimana presiden memegang ujung kendali.
Menurutnya, negara maju tidak membutuhkan Menko. Namun, sebagai imbasnya harus memperkuat staf presiden. Zulfikar mempertanyakan kerja staf khusus presiden dan dewan pertimbangan presiden (Wantimpres) selama ini.
Dia mencontohkan kasus penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) oleh Presiden SBY, Wantimpres bidang hukum tidak memberikan penjelasan apapun.
Menurutnya, presiden perlu memperkuat staf khusus dengan jumlah dua sampai tiga orang. Kinerja staf khusus perlu ditingkatkan dan memberikan keterangan yang jelas sesuai bidangnya.
"Tiga menko ini tidak diperlukan kalau staf presiden kuat. Ini sudah lama dikritik, mungkin presiden budeg," ujarnya.
Di sisi lain, Zulfikar juga mengkritik wacana penggabungan kementerian seperti Dirjen Dikti dengan Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek). Menurutnya, penggabungan itu hanya akan mencetak tukang. Sebab, universitas bukan sekolah yang mencetak tukang. Tukang bisa dicetak di sekolah kejuruan. Sedangkan Indonesia perlu lulusan berintelektual dan berwawasan.
"Kemenristek kembalikan saja ke LIPI, fungsinya sama. Di LIPI juga sudah dibagi bidang sosial dan eksak," ucapnya.
Pada pemerintahan SBY terdapat tiga Menko yakni Menko Perekonomian, Menko Polhukam, dan Menko Kesra.