REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pusat Kajian Anti-korupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM) berharap calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak memiliki afiliasi dengan partai politik.
Sehingga bisa terbebas dari konflik kepentingan dalam melakukan pemberantasan korupsi di masa mendatang.
"Calon yang dipilih harus terbebas dari afiliasi parpol, termasuk keluarga," kata peneliti Pukat UGM, Hifdzil Alim di Yogyakarta.
Selain itu, kata dia, pimpinan KPK terpilih juga tidak merangkap jabatan pada perseroan terbatas. Baik swasta mau pun negara (BUMN/BUMD). Kedua unsur tersebut, paling sering terlibat kasus korupsi.
"Selama kurun 2010-2014, kebanyakan yang terlibat korupsi terdiri atas unsur parpol dan swasta," kata dia.
Direktur Pukat UGM, Hasrul Halili menambahkan, pimpinan KPK juga harus memiliki kepercayaan atau akseptabilitas dari publik. Bukan akseptabilitas politik yang hanya akan menguntungkan kepentingan politik.
"Jadi nanti bisa saja dipilih orang yang memiliki akseptabilitas politik. Tujuannya agar tidak diganggu KPK jika melakukan korupsi," kata dia.
Hal penting lainnya, menurut dia, posisi pimpinan KPK juga tidak boleh dijabat oleh calon yang pernah memiliki riwayat atau keterkaitan dengan kasus korupsi.
"Kalau terkontaminasi orang-orang yang terlibat korupsi maka bisa melemahkan KPK," kata dia.
Ia menambahkan, calon pimpinan KPK mendatang juga harus lebih berani membongkar kasus korupsi strategis. Seperti mafia migas, mafia sumber daya alam, mafia peradilan dan mafia politik, serta memiliki visi dan misi dalam pencegahan korupsi lintas sektor.
Sebelumnya, terdapat enam calon yang saat ini lolos untuk mengikuti proses seleksi wawancara calon pimpinan KPK, yakni Jamin Ginting (Swasta), Busyro Muqoddas (Swasta), I Wayan Sudirta (Advokat), Ahmad Taufik (Swasta), Robby Arya Brata (Advokat), dan Subagio (PNS/Pensiunan).
Selanjutnya, Pansel akan memilih dua nama untuk diajukan ke presiden pada 13 Oktober 2014. Dua nama tersebut kemudian akan mengikuti proses uji kelayakan dan kepatutan di DPR.