Kamis 09 Oct 2014 16:17 WIB

KPK: Gugatan Akil Mengada-ada

Akil Mochtar
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Akil Mochtar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto mengatakan permohonan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Moctar yang menguji UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TPPU) adalah tidak benar, mengada-ada dan keliru.

"Dalam praktiknya majelis hakim dalam memutuskan perkara tindak pidana pencucian uang terkait Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU wajib mempertimbangkan semua unsur-unsur delik dalam pasal-pasal tersebut, termasuk di dalamnya unsur 'patut diduganya'," kata Bambang saat memberikan keterangan sebagai Pihak Terkait dalam sidang Pengujian UU TPPU di MK Jakarta, Kamis (9/10).

Akil menguji UU TPPU ini karena merasa dirugikan atau berpotensi dirugikan dengan berlakunya Pasal 2 Ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Ayat (1), Pasal 69, Pasal 76 Ayat (1), Pasal 77, Pasal 78 Ayat (1), dan Pasal 95 UU TPPU. Terpidana seumur hidup kasus suap sengketa pilkada di MK dan dugaan TPPU ini meminta MK menyatakan Frasa "atau patut diduga" dalam pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki hukum mengikat.

Menurut Bambang, pemahaman atas pelaksanaan ketentuan tersebut juga harus diletakkan dalam konteks hukum acara dan dibaca pemahamannya sebagai satu kesatuan proses pembuktian dalam membuktikan unsur-unsur pasal tersebut.

Selain itu, lanjutnya, juga harus diletakkan dalam konteks teori hukum yang biasa digunakan untuk menjelaskan pengertian frasa kata "patut diduga" dalam pertimbangan putusan hakim. "Secara 'de facto', di dalam pertimbangannya majelis hakim mencari kesesuaian antara unsur-unsur delik dengan bukti-bukti yang terungkap dalam persidangan dengan mengacu kepada ketentuan hukum acara pidana," ujar Bambang.

Terkait dalil Pasal 69 UU TPPU, di mana Akil meminta menghapus kata 'tidak' sehingga wajib membuktikan pidana asalnya dalam perkara tindak pidana pencucian uang.

Apabila kata 'tidak' dalam Pasal 69 UU TPPU dihapus sehingga tindak pidana asal wajib dibuktikan terlebih dahulu, maka akan mempersulit penanganan perkara TPPU karena harus menunggu diputuskannya perkara tindak pidana asal, sedangkan prinsip dalam pengumpulan alat bukti TPPU adalah 'follow the money', sehingga penanganannya harus cepat.

Bambang mengatakan bahwa kata 'tidak' dalam Pasal 69 UU TPPU tidak melanggar prinsip "Negara Indonesia adalah Negara Hukum sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945.

"Berdasarkan Pasal 77 dan Pasal 78 UU TPPU, terdakwa diberikan hak untuk membuktikan asal-usul perolehan harta benda yang didakwa sebagai TPPU sehingga pembalikan beban pembuktian justru melindungi hak terdakwa untuk membela diri," jelasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement