Kamis 09 Oct 2014 12:08 WIB

Ini Isi Surat Terbuka Indra Piliang untuk Jokowi (3)

Indra J Piliang (kanan)
Foto: Prayogi/Republika
Indra J Piliang (kanan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus Partai Golkar, Indra J Piliang membuat surat terbuka untuk presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi). Surat tersebut dimuat di blog pribadinya pada Kamis (9/10) dengan judul Surat Terbuka untuk Jokowi: Tentang Mimpi Generasi Usia 40-an Tahun.

Surat itu ditulis dari beberapa bagian. Pada bagian ketiga, Indra menulis menyarankan agar Jokowi mengangkat menteri dari generasi usia 40 tahun. 

Karena merupakan generasi yang tumbuh dari kelebihan gizi pembangunan era Orde Baru. Tetapi terjepit dalam pembatasan secara intelektual, sosial dan politik. 

Berikut bagian isi dari tulisan Indra tersebut: 

Pak Joko Widodo (Widodo) yang menjadi penerima mandat rakyat

Kami sudah melihat bagaimana tantangan yang ada di depan Bapak dan kelompok mana saja yang menggerakkan. Baik koalisi ataupun aliansi itu, dengan mudah bisa dibaca lewat perjalanan bangsa ini sejak patahan sejarah Mei 1998, atau malah akar umbi Rezim Orde Baru. Konsolidasi yang mereka lakukan sudah sedemikian rupa, sehingga roda sejarah bisa dibalikkan kembali. Dalam teori transisi menuju konsolidasi demokrasi, tidak sedikit negara yang jatuh lagi ke tangan sekelompok orang yang justru menjadi penikmat rezim otoritarian sebelumnya. Sebutan zaman ini adalah Sengkuni dalam kisah yang lebih lama lagi dalam kitab berabad lampau.

Mari baca kembali buku From Voting to Violence: Democratization and Nationalist Conflict yang ditulis Jack Snyder. Dari buku itu kita tahu, bahasa-bahasa nasionalisme adalah opium yang digerakkan dengan mesin propaganda moderen untuk meraih simpati massa oleh para penikmat rezim lalu itu.

Siapa mereka? Pak Jokowi bisa baca ciri-ciri mereka dalam buku Jack Snyder itu. Sudah ada edisi berbahasa Indonesianya, Pak. Kalau orang yang tidak pernah atau jarang membaca buku, tentu bisa dengan mudah diselewengkan opininya. Sayangnya, saya sudah banyak membaca buku-buku sejenis ketika delapan tahun menjadi peneliti bidang politik dan perubahan sosial, dengan latar belakang sebagai sejarawan. Karena ada di lapangan dalam pergerakan mahasiswa 1990-an, tentu juga sudah sedikit mengerti pelbagai tali-temali hubungan yang sempat memencar, berdiaspora, lalu kembali hidup di kolam yang sama dengan warna teratai yang lebih indah seakan merekalah simbol nasionalisme negeri ini.

Apa urusan kami dengan itu semua, Pak? Lautan massa aksi 1990-an sampai Mei 1998 tidak sedang bertarung demi kekuatan-kekuatan elite politik. Generasi kami adalah generasi yang – sekali lagi – hanya ingin membaca buku-buku lebih tebal, menikmati kebebasan berpikir dan berpendapat, tidak takut bertemu dengan tentara di lapangan, bermimpi tentang era Tinggal Landas – bukan tinggal di landasan – sebagai salah satu negara pemimpin baru di kawasan Asia. Generasi yang sedang menikmati revolusi Tripple T: Technology, Telecommunication and Transportation. Generasi yang sedang diharu biru oleh globalisasi dan buku-buku karangan futurolog seperti Alvin Toffler, John Naisbitt dan bahkan Ziauddin Sardar dan penulis-penulis lain dari lintas agama. Generasi yang tak peduli dengan benturan peradaban dan berdebat tentang pikiran-pikiran Samuel P Huntington, karena tahu Indonesia adalah negara yang cinta damai dengan agama-agama besar dunia yang hidup bertetangga sejak kecil.

Saya tidak bisa mengakses Bapak, karena saya tahu kesibukan Bapak. Dan bisa Bapak bayangkan, orang yang dianggap sebagai bagian dari tim Bapak saja bisa seperti saya, apalagi dengan generasi berusia 40-an tahun yang saya sebut tadi yang tentu lebih sulit lagi? Mereka yang juga menganggap saya sebagai orang politik, orangnya si A, orangnya si B, jago bicara, pintar bohong, tetapi tidak melakukan apa-apa di tengah kondisi bangsa yang kian terpuruk. Bapak tahu, dari generasi apatis dan apolitis 1990an itulah saya dilahirkan dan menjadi orang asing ketika benar-benar terjun ke politik praktis.

Apabila Bapak mampu mengambil simpul-simpul dari generasi itu, bisa memintalnya, Bapak tinggal menyeret satu arus generasi yang sudah siap pakai. Mereka tentu tahu berapa jumlahnya di masing-masing tempat dan profesi. Bapak tinggal bertanya: “Berapa jumlah kalian di kepolisian? Berapa jumlah kalian di perbankan? Berapa jumlah kalian di media massa? Berapa jumlah kalian di luar negeri? Berapa?” Mereka akan tunjukkan teman-teman mereka, mereka akan membuka lembaran baru Indonesia, lalu mereka juga yang bisa memberi satu tapisan buat Bapak: mana yang dedak, mana yang butiran padi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement