REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Laskar Dewa Ruci mendaftarkan pengujian Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Rabu (8/10).
Penggugat menguji Pasal 3 Ayat 1 dan 2 UU Pilkada lantaran dinilai merampas hak berpolitik rakyat, dan justru memberikan hak eksklusif kepada DPRD dalam menentukan kepala daerah. "Ada pembedaan perlakuan hukum antara rakyat biasa dengan rakyatyang menjadi anggota DPRD," kata kuasa hukum pemohon Ridwan Darmawan di gedung MK.
Pasal 3 Pasal Ayat 1 berbunyi: "Gubernur dipilih oleh anggota DPRD Provinsi secara demokratis berdasar azas bebas, rahasia, jujur, dan adil". Adapun, Pasal 3 Ayat 2 berbunyi: "Bupati dan wali kota dipilih oleh anggota DPRD kabupaten/kota secara demokratis berdasar asas bebas, rahasia, jujur, dan adil".
Ridwan menilai, gugatannya tersebut secara resmi diajukan oleh 12 orang anggota Laskar Dewa Ruci, dengan dua di antaranya merupakan bakal calon kepala daerah dari jalur independen. "Mereka tidak lagi bisa melakukan pemilihan, artinya memperjuangkan hak dan aspirasinya itu tidak bisa karena dihalangi,"
katanya.
Ridwan mengungkapkan, pihaknya tidak percaya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Pilkada yang diterbitkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) karena hanya upaya pencitraan untuk memperdaya publik.
"Perppu SBY hanyalah omong kosong belaka, tidak lebih dari sekadar pencitraan bagi dirinya sendiri," katanya. "Ditambah lagi dengan tujuan-tujuan sempit dan jangka pendek politik SBY dan Partai Demokrat dalam menghadapi dinamika parlemen serta poros politik Indonesia ke depan di bawah pimpinan presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla."
Pengacara dari Kantor Pengacara Sirra Prayuna itu juga melihat peluang diterimanya Perppu Pilkada sangat tipis di DPR. Pasalnya, penguasa DPR adalah Koalisi Merah Putih (KMP) yang merupakan inisiator UU Pilkada. Untuk itu, LBH Dewa Ruci meminta MK menyatakan dua pasal yang digugat itu dinyatakan tidak berlaku. Sehingga, mekanisme pilkada bisa seperti semula, kembali dipilih secara langsung.
"Petitumnya menyatakan Pasal 3 Ayat 1 dan 2 ini inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai pemilihan kepala daerah dilaksanakan secara langsung," katanya.