REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Ratusan akademisi Universitas Indonesia (UI) melakukan aksi menolak pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui DPRD. Penolakan itu disampaikan dalam bentuk pernyataan sikap yang dibacakan di Gedung F Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UI.
"Ratusan ada dari berbagai kelompok sih," kata Iwan Moelia Pirus salah satu akademisi yang ikut menolak Pilkada Tidak Langsung, Selasa (7/10).
Rudi Agusyanto Dosen FISIP UI mengatakan Pilkada Tidak Langsung bukan demokrasi. Rudi mengatakan demokrasi Pancasila adalah demokrasi multikulturalisme. Menurutnya demokrasi Indonesia menghimpun setiap suara sekecil apa pun.
Rudy mengatakan sebagai seorang akademisi ia melihat DPR telah melebihi batas kewenangannya. Menurutnya keputusan Pilkada Tidak Langsung tidak memenuhi kepentingan rakyat. Tapi lebih pada adu kekuasaan antra partai politik.
Rudy melanjutkan hal ini tidak sehat bagi demokrasi Indonesia, hak rakyat sudah tidak lagi dianggap. Penolakan Pilkada Tidak Langsung juga disebabkan oleh ketidakpercayaan para akademisi kepada DPR.
Selain itu, DPRD tidak memiliki keterikatan kepada rakyat. Pilkada Tidak Langsung ini sangat rawan dengan nepotisme. Ia menambahkan adanya penolakan dari berbagai pihak dan kelompok terhadap Pilkada tidak langsung disebabkan oleh pengawasan masyarakat sudah terhadap pemerintah semakin baik.
"Karena demokrasi kita demokrasi yang menghimpun semua suara bukan suara mayoritas," ujarnya.
Senada dengan Rudy, salah satu dosen FISIP UI Emmed Madjid Prioharyono mengatakan Pilkada Tidak Langsung sangat dengan nepotisme. Karena Pilkada Tidak Langsung akan memperkuat sistem politik kekerabatan.
Menurut Emmed sistem politik kekerabatan sangat erat kaitannya dengan nepotisme. Dengan sistem politik kekerabatan pemerintah dan masyarakat akan sulit mengawasi DPRD. Menurutnya dengan sistem politik ini akan melukai demokrasi yang selama ini sudah dicita-citakan.
"Coba lihat Banten, semua anggota keluarga Atut dan Wawan menjadi birokrat di sana," katanya