Selasa 07 Oct 2014 12:05 WIB

Komitmen Pemprov Lemah Dalam Melindungi KBU

Rep: c80/ Red: Winda Destiana Putri
Gedung sate, bandung
Gedung sate, bandung

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Ketegasan serta komitmen pemerintah provinsi Jawa Barat, dalam melindungi kawasan Bandung Utara dipertanyakan. Hal tersebut dikarenakan masih maraknya bangunan-bangunan liar serta tempat-tempat usaha yang tidak sesuai peruntukannya.

''Masih belum menunjukan komitmen yang sangat tegas. Baik pemerintah provinsi maupun kabupaten kota,'' kata Pakar hukum lingkungan universitas parahyangan, Prof Asep Warlan Yusuf, kepada Republika, di kampus s2 Unpar, Bandung, Selasa (7/10).

Saat ini pemprov, kata Asep, masih tebang pilih dalam penegakan hukum terkait KBU. Padahal, hukum seharusnya tidak boleh pilih kasih dan diskriminatif. ''Siapun itu, kalau sudah melanggar harus ditindak secara hukum,'' ujarnya.

Karena menurut Asep, selama ini pemerintah hanya menyasar kepada para pelanggar hukum. Namun pejabat yang memberikan izin tidak pernah disentuh. Pasalnya, dalam UU No 26 tahun 2007 tentang tata ruang. Bagi yang memanfaatkan ruang tidak sesuai peruntukannya, maka hukumannya adalah pidana.''Jadi tidak hanya sekedar ditertibkan, tapi juga dipidanakan,'' katanya.

Namun selama ini, pemprov hanya menyasar para pemilik bangunan yang melanggar. Tapi tidak pernah memproses siapa pemberi izin mereka. Karena dalam UU tersebut, lanjut Asep, pemberi izin yang menerbitkan izin pemanfaatan ruang, yang bukan peruntukannya juga harus dipidanakan.''Sehingga, sanksi administratif maupun sanksi pidana harus tegas,'' tuturnya.

Menurut Asep, ada empat faktor mengapa penegakan hukum di KBU 'mandul'. Yaitu kurangnya aparatur penegak hukum, baik itu dari sisi administratif maupun pidananya. kedua, dari segi masyarakatnya, terutama masalah ekonomi. Biasanya ada iming -iming lapangan pekerjaan.

Ketiga, kurang tegasnya dari para kepala daerah. Jangan hanya sebatas gubernur, tapi bupati/walikota juga harus bersinergi dalam menjaga KBU.''Pelanggaran harus ditertibkan. Mereka harus serius, jangan sampai ada KKN disana,'' ucap Asep.

Keempat, karena ada kesulitan teknis dalam penyelidikan dan penyidikan. Siapa yang bertanggungjawab, bagaimana cara penertibannya. ''Petunjuk teknisnya masih lemah,'' ungkap Asep.

Dalam menanggapi masalah di KBU, Asep memaparkan empat kategori. Pertama, mereka yang sudah berizin dan sesuai peruntukannya. Kedua, sudah punya izin tapi tidak sesuai peruntukannya, dan harus ditertibkan. ketiga, tidak memiliki izin, tapi sesuai dengan peruntukannya, mereka harus dipaksa untuk mengurus izin dengan berbagai persyaratan.

Keempat, yang paling menjadi masalah adalah mereka yang tidak punya izin dan tidak sesuai dengan peruntukannya. ''Pihak pemprov bertanggungjawab kepada 4 hal ini, sambil menginventarisir,'' jelas Asep.

Namun, Asep khawatir adanya praktek KKN dalam setiap penerbitan izin. Walaupun kata dia, mesti dibuktikan terlebih disana. Karena, izin pemanfaatan ruang KBU harus melewati kajian multidisiplin. ''Dari sisi lingkungan, sosial, teknis bangunan mesti diperhatikan,'' terangnya.

Selain itu, pejabat pemberi izin juga harus bisa mendengarkan aspirasi masyarakat. Bukan hanya masyarakat yang berkepentingan mengurus izin, tapi juga warga yang merasa khawatir akan munculnya dampak negatif disana.

KBU adalah salah satu kawasan yang penting bagi kehidupan tata ruang Jabar. Karena Ia berpotensi sebagai resapan air, penyimpanan air serta sebagai kawasan konservasi.

Oleh karenanya, Pemprov harus kuat mengendalikan KBU. Agar jangan sampai pemanfaatannya, tidak melebihi daya tampung dan daya dukung lingkungan. Sehingga bisa menurunkan kualitas lingkungan, serta mereduksi tingkat pelayanan ruangnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement