REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Saleh Partaonan Daulay menuding politikus senior PDI Perjuangan Pramono Anung tidak memahami sejarah.
Lantaran, Pramono menyebut pemilihan pimpinan MPR melalui voting tidak pernah ada sebelumnya.
"Pemilihan pimpinan MPR melalui voting sudah dilakukan sejak 1999. Pemilihan pimpinan MPR dilakukan malam hari 3 Oktober. Pemungutan suara kemudian memilih Amien Rais sebagai ketua MPR," kata Saleh, Senin (6/10).
Saleh mengatakan, MPR hasil pemilu 1999 memunculkan beberapa nama untuk bersaing menjadi pimpinan. Antara lain Amien Rais, Husnie Thamrin, Nazri Adlani, Matori Abdul Djalil, Ginanjar Kartasasmita, Kwik Kian Gie, Hari Sabarno dan Yusuf Amir Faisal.
Dari beberapa nama itu kemudian mengerucut pada dua nama, yaitu Amien Rais dan Matori Abdul Djalil. Dalam pemilihan suara yang diikuti 647 anggota MPR, Amien mendapatkan 305 suara. Sedangkan Matori mendapatkan 279 suara.
"Pemilihan itu berlangsung sangat demokratis. Semua pihak menerima hasil itu dengan lapang dada. Tidak ada yang walk out dan membuat pernyataan yang menyudutkan pemenang," tutur anggota Fraksi PAN di DPR itu.
Pada 2004, pemilihan pimpinan MPR melalui voting juga kembali dilakukan. Perbedaaanya, saat itu pimpinan dipilih sekaligus dengan sistem paket.
Paket A (Koalisi Kebangsaan) terdiri atas Sutjipto (PDI Perjuangan), Theo L Sambuaga (Golkar), Aida Zulaika Ismeth Nasution (DPD) dan Sarwono Kusumaatmaja (DPD). Paket B (Koalisi Kerakyatan) mencalonkan Hidayat Nurwahid (PKS), AM Fatwa (PAN), HM Aksa Mahmud (DPD), dan Dr Mooryati Soedibyo (DPD). Sementara Paket C adalah pilihan abstain.
"Pemilihan diikuti 668 anggota MPR dilaksanakan pada siang hari 6 Oktober 2004. Hasilnya, Paket A meraih 324 suara, Paket B mendapat 326 suara, Paket C 13 suara dan terdapat 10 suara tidak sah," katanya.
Karena itu, Saleh menilai pernyataan Pramono Anung mengenai tata cara voting untuk memilih pimpinan MPR tidak pernah ada dalam sejarah merupakan suatu hal yang tidak tepat.
"Fakta historis seperti ini semestinya tidak dilupakan. Kan belum begitu lama. Semuanya masih mudah diingat dan segar dalam memori dan ingatan banyak orang," ujarnya.
Karenanya, Saleh justru mempertanyakan pernyataan Pramono yang terkesan ahistoris tersebut. Sehingga dia berpendapat perlu ditelusuri apa motif di balik pernyataan itu.
"Jangan-jangan hanya untuk menggiring opini bahwa pemilihan pimpinan MPR lewat voting dianggap tidak sah. Kalau itu yang dimaksud, tentu muatan politiknya sangat besar. Kasihan masyarakat dengan opini yang tidak berdasar seperti itu," ujarnya.