REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Pakar hukum tata negara Universitas Nusa Cendana Johanes Tuba Helan berpendapat, presiden tak bisa menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) hanya untuk mengubah atau mengganti UU Pilkada.
"Perpu hanya dikeluarkan untuk mengatasi keadaan darurat atau mendesak karena ada kekosongan hukum. Tidak bisa digunakan untuk mengganti atau mengubah suatu undang-undang, termasuk UU Pilkada" kata Johanes di Kupang, Rabu (1/10).
Selasa (30/9), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan bakal mengeluarkan Perppu Pilkada. Isinya antara lain, akan mengembalikan mekanisme pilkada langsung oleh rakyat.
Menurut SBY, saat ini pemerintah berpandangan sama dengan Partai Demokrat yang mendukung pilkada langsung dengan sejumlah perbaikan.
Ia mengatakan keputusan mengeluarkan perppu adalah sebuah risiko politik yang harus diambil. Namun keputusan perppu itu akan diterima atau tidak sepenuhnya tetap menjadi kewenangan DPR.
"Kalau DPR mendengar aspirasi rakyat yang menghendaki pilkada langsung dengan perbaikan maka ini yang harus kita ambil," kata SBY.
Johanes menambahkan, tidak sependapat dengan sikap SBY yang ingin mengeluarkan perppu. Karena penetapan UU Pilkada oleh DPR pekan lalu tidak berdampak pada suatu keadaan darurat atau menimbulkan kekosongan hukum.
"Dalam pandangan hukum tata negara, lahirnya UU Pilkada tidak menimbulkan kevakuman hukum dan tidak juga ada sesuatu yang darurat yang memperlukan perppu," katanya.
Karena itu, penerbitan perppu dapat dianggap hanya sebagai upaya memperbaiki citra pada akhir masa jabatannya. Termasuk citra Partai Demokrat yang mengambil keputusan walk out dalam paripurna pekan lalu.