Rabu 01 Oct 2014 11:12 WIB

Soal UU Pilkada, UGM: Ibarat Ganti Sepatu Tanpa Lihat Ukuran Kaki

Rep: Hannan Putra/ Red: Mansyur Faqih
  Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9).  (Republika/Wihdan)
Sejumlah aktivis dari Koalisi Kawal RUU Pilkada menggelar aksi unjuk rasa di depan Gedung DPR, Jakarta, Rabu (24/9). (Republika/Wihdan)

REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Pilkada lewat DPRD dianggap tak sesuai dengan sistem pemerintahan presidensial. Karena, presiden dan wapres dipilih langsung oleh rakyat. 

Artinya, mekanisme yang sekarang digunakan di UU Pilkada tak konsisten dengan sistem pemerintahan yang dianut.

"Konsekuensi sistem pemerintahan yang dijalankan saat ini adalah pilkada langsung. Tidak seenaknya mengubah tanpa mendahului mengubah sistem pemerintahnnya," kata pengamat politik UGM, Abdul Gaffar Karim di Yogyakarta. 

Ia menilai, UU Pilkada merupakan bagian dari perubahan yang bersifat parsial, tidak secara menyeluruh. "Ibarat tambal sulam, harusnya mengganti sistem pemerintahan terlebih dahulu. Sama saja mengganti sepatu tanpa melihat ukuran kakinya," katanya.

Dia berpendapat, pilkada tak langsung sebaiknya ditata ulang. Caranya, dengan mengevaluasi sistem pemerintahan secara menyeluruh. 

Gaffar menambahkan, sistem pilkada di Indonesia tidak bisa diseragamkan. Karena setiap daerah memiliki  tingkat kemajemukan yang berbeda, bahkan asimetris.

Dia mencontohkan DIY dan DKI Jakarta yang menetapkan gubernuroleh DPRD. Sementara wali kota/bupati ditunjuk langsung oleh gubernur. 

"Masing-masing daerah di Indonesia memiliki karakter majemuk, tidak boleh ditata seragam. Kita hormati keragaman itu dengan desain otonomi asimetris," paparnya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement