REPUBLIKA.CO.ID, PONTIANAK — Wilayah hutan Kalimantan Barat (Kalbar) kini tengah dihadapkan pada darurat konflik agraria. Masyarakat Dayak setempat perlahan mulai tergusur dari tanah mereka sendiri akibat lahannya dirampas oleh perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang cocok tanam.
Mudahnya pemerintah daerah dalam mengeluarkan izin penggunaan lahan bagi perusahaan-perusahaan pendatang disebut sebagai biang utama.
Dalam sebuah diskusi publik di Pontianak, Kalbar Selasa (30/9) terungkap, banyak lahan warga setempat yang nyaris habis digerus oleh invansi perusahaan komersil.
Tercatat, dari total lahan seluas 14,7 juta hektar di Kalbar sekitar 13,6 juta diantaranya sudah berubah alih fungsi menjadi Industri Ekstraktif yang bahan bakunya berasal dari alam sekitar.
Perwakilan Lingkaran Mahasiswa Singkawang, Kalbar, Lipi dalam forum tersebut mengeluhkan arogansi pemerintah yang malah mendukung sepak terjang industri.
Akibatnya, masyarakat adat pemilik hutan lokal justru harus berhadapan dengan hukum ketika bersengketa melawan perusahaan-perusahaan pencaplok lahan mereka.
“Masyarakat Dayak malah digusur dari tahanya sendiri, itu jelas menyakitkan. Warga adat yang masih tinggal di pedalaman kurang paham dengan situasi ini dan naluri mereka memilih untuk melawan,” kata dia.
Ia mengatakan, Lingkaran Mahasiswa di Kalbar bersama segenap aktivis pecinta lingkungan saban waktu kerap melancarkan protes ke pemerintah daerah. Wilayah hukum pun mereka jajaki untuk menyelamatkan warga dayak dari upaya industri menggerus tanah leluhur mereka.