Selasa 30 Sep 2014 22:41 WIB

Mahasiswa hingga Guru Besar Unair Tolak Pilkada DPRD

Rep: c54/ Red: Maman Sudiaman
Pilkada(Ilustrasi).
Pilkada(Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Gelombang protes terhadap UU Pilkada semakin meluas. Di Surabaya, ratusan mahasiswa, dosen, hingga profesor Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (Unair) satu suara menolak UU Pilkada.

Mereka menggelar penggalangan petisi tandatangan melalui spanduk, serta diskusi publik menghadirkan para dosen dan aktivis mahasiswa sebagai pembicara.

Inisiator gerakap FISIP Unair melawan UU Pilkada adalah Guru Besar Unair sekaligus pakar politik Ramlan Surbakti. Kepada wartawan, Ramlan menyampikan, pengesahan UU Pilkada mengada-ada dan dilatarbelakangi dendam politik.

Menurut Ramlan, berbagai alasan yang disampaikan tidak didukung oleh data. Misalnya, Ramlan mencontohkan, soal konflik horisontal yang kerap terjadi dalam pemilihan kepala daerah.

"Beluma ada penelitian, pilkada langsung yang menyebabkan konflik horisontal dan kekerasan. Memerlukan dana besar, untuk pembiayaan, iya. Makanya sebagai perbaikan disepakati pilkada serentak, tiba-tiba kok, berubah," ujar Ramlan di kampus FISIP Unair, Selasa (30/9).

Sementara itu, Haryadi, pakar politik Unair lainnya berpendapat, Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, telah dimaknai semaunya. Keterangan 'demokratis' dalam pasal tersebut, menurut dia mengandung semangat pemilihan langsung.

"Kenapa kata 'demokratis' yang dipilih, bukan 'pemilihan langsung', karena ada daerah-daerah istimewa, seperti Yogyakarta. Tapi semangatnya adalah semangat pemilihan langsung. Para perumusnya masih hidup, Pak Jacob Tobing, Pal Selamet Efendi Yusuf, bisa ditanya," ujar dia.

 

Seperti diketahui, para pendukung UU Pilkada mengganggap Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 tidak secara tersurat menyebutkan pilkada langsung, sehingga tidak pemilihan melalui DPRD tidak melanggar UUD 1945.

Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 berbunyi: "Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota‎ dipilih secara demokratis."

Baik Ramlan maupun Haryadi sepakat, UU Pilkada mengacaukan sistem pemerintahan Indonesia. Menurut mereka, sistim pemerintahan Indonesia adalah presidensial, sementara UU Pilkada cenderung bersifat parlementer. C54

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement