REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kenaikan harga BBM bersubsidi yang diwacanakan pemerintahan Jokowi-JK memiliki proses kajian resiko, sehingga tak sembarangan memutuskan berapa besaran tarif baru tersebut. Sknario tersebut sudah diserahkan ke presiden dan wapres terpilih, rencananya baru akan disampaikan setelah mereka menjabat.
Pokja Tim Transisi Bidang Ekonomi, Arif Budimanta mengatakan ada model atas opsi kenaikan BBM tersebut, seperti dari kenaikan bertahap, kenaikan tetap dan kenaikan melompat. Ia enggan menyebut angka berapa besaran nominalnya, namun semua tahapan tersebut ada kajiannya.
"Proses peralihan melakukan mitigasi resiko terhadap pengalihan dan dampaknya terhadap inflasi dan penjagaan daya beli, dan melihat koridor konstitusionalitasnya," kata Arif, Selasa (30/9).
Dia menambahkan, semua kajian tersebut sudah diserahkan kepada Jokowi-JK, namun apakah sudah ada keputusannya, termaksud pernyataan Penasihat Tim Transisi, Luhut Binsar Pandjaitan, ia masih belum tahu. Sebab, pokja hanya membangun sknario kenaikan BBM.
Sebelumnya, Penasihat Tim Transisi Jokowi-JK, Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, presiden dan wapres terpilih telah memutuskan kenaikan harga BBM bersubsidi sebesar Rp 3.000 per liter pada November 2014. Selain itu, ada bantuan langsung untuk mereka yang dinilai kurang mampu.
Wakil Presiden terpilih Jusuf Kalla (JK) belum memutuskan adanya kenaikan BBM sebesar Rp 3.000 per liter pada November 2014. Usulan tersebut dianggap baru sebatas wacana dari hasil kajian akademik yang dilakukan tim transisi belum lama ini.